blank
Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR. Foto: Humas

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) ditargetkan selesai pada Juni 2024. Peta jalan transisi energi pada RPP KEN ini akan mengubah target bauran sebelumnya sebesar 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2025.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang, seharusnya kegagalan mencapai target bauran energi terbarukan dalam lima tahun terakhir menjadi bahan evaluasi untuk menemukan strategi yang tepat, bukan justru menurunkan target. Selain itu, kondisi ini disayangkan karena energi terbarukan akan menjadi sumber energi yang murah dan bersih.

Harga panel surya terus mengalami tren penurunan sebesar 89 persen pada rentang 2010 sampai 2019, harga turbin angin turun sebesar 59 persen, dan harga penyimpanan baterai (battery storage) mengalami penurunan sebanyak 89 persen. Tren akan terus berlanjut dan mengokohkan energi terbarukan sebagai sumber energi paling murah.

Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR, mengungkapkan, mempertahankan dominasi batubara dalam sistem energi di Indonesia justru akan membawa Indonesia pada kerentanan ekonomi terhadap penurunan permintaan batubara ekspor Indonesia.

“Negara yang menjadi tujuan ekspor batubara Indonesia saat ini telah mempunyai target netral karbon atau net zero emission-nya. Contohnya Tiongkok yang menargetkan NZE 2060 dan berkomitmen menurunkan konsumsi batubaranya hingga 75 persen pada 2050. Begitu pula dengan India yang menargetkan menurunkan bauran batubaranya hingga 50 persen pada 2031. Apabila semua negara memenuhi komitmen iklimnya, maka permintaan batubara Indonesia diproyeksikan menurun secara berkala hingga lebih dari 90 persen di 2050 dibandingkan dengan 2020,” ujar Wira pada Forum Energi Daerah yang bertajuk “Catatan Daerah untuk Pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional” yang diselenggarakan oleh IESR pada Kamis (27/6/2024).

IESR mendorong setidaknya ada dua strategi untuk mencapai target bauran energi terbarukan yang selaras dengan upaya pembatasan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Pertama, menciptakan undang-undang pendukung ekosistem transisi energi. Kedua, memperbaiki kerangka kerja keuangan berkelanjutan PLN untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan.

Wira mengungkapkan, seperti halnya model bisnis PLN yang harus berubah dalam menghadapi tren transisi energi ini, demikian pula dengan daerah-daerah yang harus mengubah sistem energinya secara komprehensif.

“Pemerintah pusat dan daerah perlu mempunyai pemahaman komprehensif terkait transisi energi yang menyangkut seluruh elemen sistem energi. Sistem energi ini termasuk ketenagalistrikan, transportasi, dan sektor terkait lainnya misalnya industri. Selain melihat sisi teknis dalam transisi energi, pemerintah juga perlu memperhatikan dampak sosial dan ekonomi dari transisi energi. Misalnya, daerah penghasil batubara yang akan terdampak secara ekonomi akibat berkurangnya penggunaan batubara baik dalam negeri dan juga untuk ekspor. Sehingga kebijakan energi nasional perlu mendapatkan masukan-masukan komprehensif yang mampu mengakomodir tantangan-tantangan yang muncul akibat dari transisi energi,” ungkap Wira.

Di sisi lain, Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) mengungkapkan pembaharuan PP KEN dilakukan atas dasar pertimbangan makro ekonomi di mana sebelumnya dirancang berdasarkan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen yang dianggap tidak relevan dengan kondisi terkini.

Djoko menyampaikan pada draf RPP KEN, bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar 19-22 persen, akan naik pada 2040 menjadi 36-40 persen dan meningkat pada 2060 menjadi 70-72 persen. Pada tahun 2060, tingkat emisi karbon sektor energi diharapkan sebesar 129 juta ton setara karbon dioksida yang akan dapat diserap oleh sektor kehutanan dan sektor lainnya. Saat ini, RPP KEN telah selesai harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui surat nomor PPE.PP.03.03-1186 dan tengah menunggu pengesahan dari presiden.

Kajian IESR, deep decarbonization of Indonesia’s energy system menunjukkan bahwa secara teknis dan ekonomis murni, Indonesia bisa menyuplai kebutuhan energi dengan 100 persen energi terbarukan bahkan di 2050 dengan biaya sistem energi yang kompetitif. Kebutuhan investasi dan biaya sistem memang akan meningkat untuk membantu integrasi energi terbarukan menuju 2030, namun antara 2030-2050 akan jadi lebih murah akibat makin turunnya biaya teknologi energi terbarukan. Dikhawatirkan proses integrasi energi terbarukan yang lebih lambat di KEN justru membuat Indonesia tidak dapat manfaat maksimal dari potensi energi terbarukan Indonesia yang melimpah.

Ning S