Oleh: Dr. Muh. Khamdan, MA.Hum.
JEPARA (SUARABARU.ID)- Rangkaian agenda pemilihan bupati dan wakil bupati sudah dimulai dengan penjaringan calon sejumlah partai. Perihal calon perseorangan, sudah dapat dipastikan tidak ada yang ikut kontestasi sebagaimana batas waktu pendaftaran. Di dalam proses itu, menarik untuk melihat hubungan antara partai berideologi Islam maupun partai kebangsaan yang diincar para calon kontestan jalur partai politik.
Tipologi pemilih dengan menggunakan konstruksi budaya model Clifford Geertz, yaitu santri, abangan, dan priyayi seolah sudah usang dan tidak relevan kembali. Bagaimana tidak, beberapa calon bupati maupun calon wakil bupati sengaja mendaftarkan di beberapa partai tanpa mempedulikan ideologi maupun basis pemilih partainya.
PPP misalnya, rekomendasinya diincar oleh sejumlah santri dan juga representasi priyayi maupun abangan. Demikian juga sejumlah santri, mengincar rekomendasi dari partai abangan seperti PDIP, Demokrat, dan Nasdem.
Mencairnya incaran rekomendasi yang dipilih para calon, mempertegas bahwa pemilih di Jepara dianggap tidak lagi mempertimbangkan hubungan partai, identitas sosiologis calon, dan simbolisasi tokoh agama. PKB sebagai partai yang identik dengan NU menjadi gambaran terbaik meruntuhkan tipologi Geertz tersebut.
Sebanyak 7 orang bakal calon bupati dan 4 orang bakal calon wakil bupati, memiliki heterogenitas latar belakang dari santri, aparat negara atau priyayi, termasuk identitas semu kaum abangan. Pada posisi itu semua calon mungkin tidak mau dikategorikan dalam kluster abangan, namun faktanya turut mendaftar juga melalui partai kaum abangan.
Fenomena beberapa orang mendaftar di banyak partai secara lintas ideologis dan basis pemilih yang cenderung vis a vis, mempertontonkan adanya pertarungan ideologi politik dengan politik “idolisasi” atau fansclub. Kondisi demikian setidaknya memunculkan dua kondisi serius dalam politik di Indonesia.
Pertama, masyarakat tidak lagi percaya proses kaderisasi dan ideologi partai politik. Hal ini bisa dipahami dari kejadian pemilu legislatif dan pemilu presiden yang diwarnai dengan perang uang atau modal finansial. Politik uang yang diatur sebagai pelanggaran pemilu, mengalami deviasi makna menjadi keharusan bagi masyarakat untuk barter suara. Ungkapan bahwa memberikan uang sebesar 100 ribu bukan bagian politik uang tapi pengganti kerja, menjadikan asumsi politik memang harus berbayar.
Kedua, politik dikendalikan bandar pemodal. Kenyataan bahwa politik harus berbayar mengakibatkan banyaknya “perselingkungan” antara pemegang modal dan pencari kuasa. Partai bisa dibeli dan rekomendasi pencalonan bisa ditebus agar pemegang otoritas sama-sama untung.
Dua kondisi demikian yang kiranya mematikan keberanian para santri atau kader partai untuk berkontestasi, namun dalam keadaan tidak ada modal. Modal menuju kuasa dapat berupa dana, jaringan dan genetika keturunan, kekuasaan, senjata, dan modal lain.
Tak heran jika masyarakat kemudian lebih memilih pasrah karena ketiadaan otonomi menentukan calon dan hanya memilih, Gak bahaya tah?
(Penulis buku “Politik Identitas dan Perebutan Hegemoni Kuasa; Kontestasi dalam Politik Elektoral di Indonesia).