blank
Fatayat NU (Foto: NU online Jatim)

Oleh: Siti Halimah

JEPARA (SUARABARU.ID)- Menarik bahasan di sejumlah media sosial menyambut perhelatan konferensi lima tahunan Fatayat NU di Jepara. Bagi penulis, membaca tulisan tentang siasat memenangkan kontestan dalam konferensi bukanlah tema utama. Terdapat hal-hal yang kiranya luput diuraikan berupa tantangan bagi fatayat ke depan.

Pertama, gejala adanya “cawe-cawe” dalam pengusungan calon ketua seolah sangat terasa. Isu pertama ini menandakan independensi Fatayat Jepara menjadi tantangan pertama. Pasalnya, kedekatan sejumlah aktivis fatayat pada partai dan politisi tertentu membuka front “perselisihan” dengan NU politik yang sudah lebih dulu akrab dengan sikap politik tertentu.

Meski diakui bahwa petinggi NU Jepara sudah terlalu vulgar mendukung calon kepala daerah tertentu. Dukungan itu terpublikasi di berbagai media baik melalui foto maupun video pernyataan. Konsekuensi atas pilihan politik sejumlah petinggi NU itu seolah dibalas oleh sebagian kader NU dalam beragama jenjang dan badan otonom, melalui penguatan independensi.

Preferensi atau kecenderungan sikap politik kader NU memang tidak tunggal. Hal itu dapat difahami dari pola komunikasi masa Pilpres dan Pileg kemarin. Ansor misalnya, memiliki kedekatan politik terhadap Golkar. Muslimat NU dan Fatayat NU memiliki kecenderungan pada PKB.

Demikian juga barisan pelajar yang bernaung di IPNU dan IPPNU, memiliki kecocokan politik berdasarkan senior yang memberi jasa pengkaderan maupun gerak jalan organisasi. Praktis, seluruh badan otonom tidak dapat disatukan sesuai selera petinggi NU yang kesana dan kemari sering mempertontonkan sikap politik itu itu saja.

Tantangan kedua bagi Fatayat adalah rekrutmen dan pengkaderan. Harus disadari bahwa trend tumbuhnya pabrik yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja perempuan, membuat sebagian ranting kesulitan merekrut anggota. Sistem kerja pabrik yang diming-imingi lembur sampai malam setidaknya mematikan selera berorganisasi sebagian besar perempuan Jepara.

Ranting di jalur pabrik dari Nalumsari, Mayong, Welahan, Kalinyamatan, Pecangaan, Batealit, Tahunan, Mlonggo dan Pakis Aji setidaknya mengalami dampak langsung. Perlu terobosan serta kreativitas mengelola potensi.

Semakin banyaknya tenaga buruh perempuan yang hijrah ke sekitar pabrik, tentu berpeluang menjadi kader militan. Ini bisa mengaca dari tumbuhnya komunitas Fatayat di perantauan luar negeri seperti Taiwan dan Hongkong, manakala kegiatan pengkaderan sekaligus rutinitas Fatayat tidak monoton.

Diperlukan kemampuan dakwah sekaligus pemetaan potensi kader sehingga Fatayat mampu menjawab tantangan ketiga, yaitu strategi dakwah yang efektif. Harus disadari bahwa Jepara masih mengalami kekurangan stock da’iyah perempuan.

Oleh karena itu, Fatayat ke depan harus siap menyediakan suplay para da’iyah untuk membentengi ideologi keagamaan yang mengarah ekstremisme kekerasan.

Tentu banyak tantangan ke depan. Oleh karenanya, kontestasi menuju konferensi cabang seyogyanya dijalani dengan hati riang gembira, dengan menjaga independensi kader sesuai hati nurani.

Tentu masing-masing kader sudah saling faham kemampuan sejumlah kader yang terkonfirmasi diusung sebagai calon. Alangkah lebih baiknya, jika organisasi calon ibu-ibu pengasuh kader muda NU itu mengedepankan semangat aklamasi.

Memulai dan mengakhiri dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dan permusyawaratan. Mari kembali pada semangat musyawarah mufakat sebagaimana tuntunan agama, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi Fatayat.

(Penulis adalah Guru TPQ dan Kader Fatayat Jepara)