MUNTILAN (SUARABARU.ID) – Misdinar Gereja St. Yusup Gedangan mengadakan acara studi rohani Bethlehem van Java misdinar ke Kerkof Muntilan, Museum Misi Muntilan, dan Gua Maria Sendangsono, Sabtu, 27 April 2024.
Fr. Wahyu, SJ sebagai pendamping misdinar menyebut, program untuk ini misdinar dan beberapa tokoh lintas agama.
“Melalui studi rohani Bethlehem van Java, misdinar Gedangan diharapkan dapat memahami sejarah lahirnya misi kekatolikan di tanah Jawa, menumbuhkan semangat kekatolikan dan toleransi antarumat beragama,” ujar Frater Wahyu.
Beberapa tokoh lintas agama yang menemani kunjungan ini seperti adalah KH. Khoirul Anwar (Pengasuh Ponpes Al-Insaniyyah, Salatiga), KH. Abdul Qodir (Pengasuh Ponpes Roudhotus Sholihin, Demak), Rabi’atul Adawiyah, Naily Illyun, Lutfi (ketiganya adalah dosen UIN Walisongo, Semarang), Pendeta Setiawan Budi (Koordinator Persaudaraan Lintas Agama), Eva Yuni (Staf Bimas Katolik) dan Sr. Lutgardis, OP.
“Ini pertama kalinya bagi kami mengalami perjumpaan dengan tokoh lintas agama,” ujar Fr Wahyu.
Di Kerkof Muntilan, rmbngan mengunjungi makam Kardinal Justinus Darmojuwono yang merupakan kardinal pertama Indonesia. Selanjutnya ke makam Rama F. Van Lith, SJ, Rama Hoevenars, SJ dan beberapa makam rama-rama Yesuit Belanda lainnya.
“Meskipun tempat ini makam tetapi sangat jauh dari kesan menyeramkan. Tempat ini sungguh sejuk dan nyaman untuk berdoa,” ujar Fr Wahyu.
Dalam bahasa Belanda, kerkhoff memiliki arti halaman gereja. Berasal dari dua suku kata, yakni kerk yang bermakna gereja dan hoff yang berarti halaman.
“Mungkin karena sudah menjadi tradisi bangsa Rropa, khususnya Belanda, pada saat menguburkan jenazah biasanya ditempatkan tidak jauh dari bangunan gereja. Kata kerkof lambat laun menjadi sebutan yang familiar untuk kuburan atau pemakaman bangsa Belanda,” tambah Fr Wahyu.
Setelah dari kerkof, rombongann menuju Museum Misi Muntilan. “Kami dibagi menjadi dua kelompok besar untuk tur di dalam museum. Kami merasa takjub karena Museum Misi Muntilan menyimpan banyak sejarah mengenai perkembangan agama Katolik. Kami melihat barang–barang peninggalan zaman dahulu seperti peralatan misa, altar dan mimbar dari kayu, jubah Rama dan Uskup, Tongkat Gembala, lonceng dan masih banyak lagi,” tutur Fr Wahyu.
Dari sini, anggota rombongan belajar tentang jejak sejarah Keuskupan Agung Semarang dan sejarah Gereja Katolik yang ada di Semarang. “Ada satu peninggalan dari Rama F. Van Lith, SJ dan Rama Hoevenars, SJ yang menarik bagi kami yaitu doa Bapa Kami dalam bahasa Jawa. Doa ini memiliki makna yang sama sama tetapi memiliki bahasa yang berbeda,” tuturnya
Rama F. Van Lith, SJ dan Rama Hoevenars, SJ menggunakan caranya sendiri dalam menerjemahkan doa Bapa Kami ke dalam bahasa Jawa.
Destinasi terakhir adalah Gua Maria Sendangsono. Gua Maria ini masih berkaitan dengan dua lokasi sebelumnya (Kerkof Muntilan dan Museum Misi). “Gua Maria Sendangsono ini adalah tempat Rama F. Van Lith, SJ membaptis 171 orang Jawa. Peristiwa ini terjadi pada 14 Desember 1904. Kini, Sendangsono menjadi salah satu tempat ziarah yang sangat populer,” ujarnya.
Di Gua Maria Sendangsono mereka mengunjungi makam Barnabas Sarikromo. Dituturkan, awa;nya Barnabas Sarikromoo memiliki penyakit kudis di kakinya dan sudah melakukan pengobatan dengan berbagai cara.
“Suatu ketika ia bersemedi untuk mendapatkan kesembuhan. Ia mendengar bisikan untuk berjalan ke arah timur laut. Dikarenakan kondisi kakinya yang tidak memungkinkan untuk berjalan, Sariksomo pun menuju arah timur laut dengan cara ngesot. Perjalanan itu membawanya bertemu dengan Bruder Kersten, SJ dan Rama F. Van Lith, SJ. Sarikromo memperoleh kesembuhan dan kemudian dibaptis oleh Rama F. Van Lith, SJ,” tutur Frater Wahyu.
Kami mendapatkan banyak sekali pengalaman dan pengetahuan dari ketiga tempat tersebut. Kami mengetahui kisah-kisah dari tokoh-tokoh penting misalnya Rama F. Van Lith, SJ, Rama Hoevenars, SJ, Bruder Kersten, SJ dan Barnabas Sarikromo.
“Kisah-kisah mereka semakin membuat kami bangga sebagai orang Katolik Jawa. Kami semakin terbakar bukan hanya untuk menjadi Katolik tetapi untuk menghidupi iman Katolik,” ujar seorang misdinar peserta tur ini.
Michelle Kanaya