blank

Oleh : Ahmad Saefudin

Sebentar lagi, kita memasuki Ramadan, bulan penuh berkah. Sembari menunggu keputusan Pemerintah melalui sidang isbat awal Ramadan tahun ini, tak ada salahnya kita merenungi salah satu kaul Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi ketika mengutip salah satu hadis Rasulullah Muhammad Saw. pada bab “puasa” dalam kitab Bidayatul Hidayah. “Al-muhajiru man hajara as-suu’a wal mujahidu man jahada hawahu”. Orang yang hijrah ialah mereka yang meninggalkan segala bentuk aktivitas kebejatan. Sedangkan mujahid atau orang yang berjihad adalah mereka yang berusaha memerangi hawa nafsunya. Begitulah kira-kira terjemah bebasnya.

Puasa Ramadan bagi seorang muslim menjadi momentum terbaik untuk menerapkan konsep jihad. Kanjeng Nabi pernah memberi peringatan, banyak sekali orang-orang yang berpuasa, boleh jadi termasuk kita, hanya untuk merasakan lapar dan dahaga. Tidak ada ganjaran lebih. Oleh karena itu, al-Ghazali menganjurkan supaya kita berpuasa secara sempurna. Yaitu dengan sekuat tenaga menjaga seluruh lima indera dan juga hati kita dari entitas apapun yang bisa menyebabkan murka-Nya. Setidaknya ada lima hal, masih menurut al-Ghazali, yang bisa tidak bisa mesti kita hindari di bulan penuh berkah ini sebagai pengejawantahan hijrah dan jihad.

Pertama, jauhi perilaku dusta (al-kidzb). Memasuki era pascakebenaran sekarang, kita diserbu oleh varian langgam kebohongan dan caranya bisa diungkapkan dengan pola yang amat halus. Produsen kepalsuan tak lagi didominasi oleh “penjahat”. Orang baik yang kurang waspada, pun bukan mustahil terjebak dalam pusaran kebohongan.

Apakah Islam tidak memberikan solusi? Ada. Kita mengenal konsep “tabayyun”. Klarifikasi, verifikasi, falsifikasi, dan konfirmasi kepada sumber yang kredibel mutlak harus kita lakukan. Gampangnya, sebagaimana kata Gus Nadirsyah Hosen, saring dulu sebelum “sharing”. Insyaallah kita akan selamat.

Kedua, menguliti aib orang lain di depan khalayak (ghibah). Ketiga, agitasi dan adu domba (namimah). Keempat, memandang lawan jenis yang bukan mahram dengan tatapan genit, mesra, dan melecehkan (an-nadzru bis-syahwat). Kelima, sumpah palsu (al-yamin al-kadzibah).

Ganjaran Puasa

Salah satu keistimewaan puasa karena Allah Swt. sendiri yang akan menetapkan takaran pahala para pelakunya. Berbeda dengan jenis ibadah kebaikan lain. Ganjaran sudah dipatok. Kaidah umumnya, satu kebaikan berbuah sepuluh kali lipat, mentok tujuh ratus kali lipat.

Khusus puasa, rumus di atas tidak berlaku. Kita mendapatkan privilese, “wa ana ajzi bihi; Saya sendiri yang akan membalasnya”. Kendati balasannya adalah hak prerogatif Allah Swt., tak sedikit ulama yang mencoba untuk memahami makna “ana ajzi bihi”.

Ada yang mengatakan, kadar pahalanya masuk dalam kategori derajat “belas kasih-Nya”. Bukan karena faktor “hak-Nya sebagai Tuhan yang wajib disembah”. Dalam memahami tafsir ini, saya kemudian berandai-andai. Ibarat puasa itu sebagai ladang pekerjaan, dan kita adalah pekerjanya, Allah Swt. tak lain adalah Bos Besarnya.

Begitu tuntas bekerja, Bos Besar memberikan kita gaji bulanan di luar kebiasaan. Bulan-bulan sebelumnya, Bos Besar memberlakukan SOP kantor. Patokan gaji adalah UMR. Prosedurnya jelas. Lewat proses supervisi dan evaluasi kinerja, baru bisa dicairkan oleh bagian keuangan. Sementara untuk bulan ini, sistem penggajian tidak melalui mekanisme prosedural. Langsung Bos Besar yang menanganinya. Tentu nominalnya lebih besar. Karena Bos Besar terkenal dermawan.

Abu al-Hasan, seperti dikutip oleh Ustman bin Hasan dalam kitab Durratun Nasihin, menggambarkan maksud “wa Ana ajzi bihi”. Menurutnya, setiap ketaatan dibalas surga. Tetapi puasa, balasannya adalah kesempatan bertemu secara esklusif dengan Allah Swt. Kita bisa melihat-Nya secara langsung dan saling bercengkerama dalam sebuah “private meeting room”.

Betapa indahnya. Nuansa keintiman itulah yang akan kita peroleh. Sebagai ganjaran tertinggi puasa. Semoga saja. Amin.

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Aswaja An-Nahdliyah Unisnu Jepara