blank
Ilustrasi the end. Reka: wied SB

blankJC Tukiman Tarunasayoga

PADA zaman muda dulu, sebutlah antara tahun 70-an sampai dengan akhir 90-an, nonton film di bioskop itu merupakan sebuah kemewahan.

Oleh karena itu, sesekali saja dapat masuk gedung bioskop. Begitu film itu selesai diputar, seraya berjalan terhuyung-huyung berjalan menuju pintu keluar,  pasti ada yang setengah berteriak: “Exit-keluarnya lewat sana.”

Di samping itu, penonton pasti gemremeng membahas film itu: “Wahhhh happy-end-nya menyedihkan ya?” Seperti kita tahu, untuk mengungkapkan selesainya film, yang tertulis  layar sering kata End, sering pula Tamat.

Kebanyakan penonton lebih suka menggunakan kata end, namun secara spontan menggabungkan kata itu dengan kata happy, sehingga menjadi happy end, dan itu maksudnya tamat.

Tamat

Minggu lalu telah kita bahas lingsir yang berujung lengser, dan di situlah titik akhir “pemutaran film kehidupan” seseorang atau banyak orang yang “happy-end” atau tamat perjalanan dan karir politiknya berhubung ditentukan oleh adanya pemilihan umum. “Wis, tamat!” begitu kira-kira perputaran film kehidupannya.

Kosakata Jawa, tembung tamat menyiratkan tiga makna sangat berbeda, dan memerlukan pemahaman konteksnya jika ingin mengetahui makna terdalamnya.

Tamat yang terkait dengan nasib seseorang dalam pemilihan umum adalah salah satu makna tamat yang maksudnya entek, rampung utawa katam; habis, selesai, dan lulus.

Maksudnya, sebutlah Pak Yuyun selama bertahun-tahun telah malang melintang sebagai anggota dewan perwakilan rakyat (DPR), ternyata tidak terpilih lagi. “Ora dadi maneh” maka ia disebut wis tamat, wis rampung, wis entek. Kemarin, dia memang nyaleg, tetapi suara pemilihnya tidak mencukupi untuk jadi, maka ya tamat-lah.

Baca juga Lingsir

Makna tamat kedua, ialah weruh utawa meruhi kahanan cethas banget, melihat bahkan mengalami suatu kondisi secara sangat jelas.

Dalam konteks ingar-bingar pemilu kemarin, siapa pun dapat melihat calon siapa saja yang bingung dan bingungi, pontang-panting kesana  kemari, klinteran, yaitu mendatangi  suatu tempat beberapa kali seolah mubeng-mubeng, berkeliling. Kondisi semacam itu dilihat jelas oleh khalayak masyarakat, dan memang ada  calon yang tenang-tenang saja, namun benar-benar bekerja untuk merebut pendukung.

Mata masyarakat itu tajam, setajam mata burung hantu, weruh cetha banget: Mosok pejabat tinggi kok klinteran?

Tamat dalam makna ketiga menyangkut sikap waspada, yakni diwaspadakake, dideleng kanthi temen-temen; dicermati baik-baik dari segala aspeknya. Contoh konkret dalam menentukan pilihan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden kemarin.

Betapa banyaknya imbauan, termasuk tokoh-tokoh agama dengan berbagai ajakan, ajaran, seruan, maklumat dll untuk mengingatkan sing waspada, delengen kanthi temen-temen; lihatlah bibit, bobod, dan  bebed-nya. Dengan ungkapan bernuansa penuh pertimbangan moral(itas), seruannya mengerucut ke: lihat rekam jejaknya, perhatikan tendensi berfikir politiknya, dan jangan lupa etika serta moralitasnya.

Tutug

Apakah tamat searti dengan tutug? Seseorang atau pun sesuatu disebut wis tutug manakala ia tekan ing pungkasan, sampai di titik akhir secara puas, wis katog, wis marem. Jadi, tutug bernuansa atau berkaitan dengan rasa puas, rasa marem.

Pasti ada orang atau pihak-pihak yang tamat dalam arti telah berakhir, namun sangat mungkin ada yang belum merasa puas, belum merasa marem; makanya isih klinteran terus.

Tanda-tanda nyata orang yang tamat nanging durung tutug, yaitu secara konstitusional memang sudah rampung namun merasa belum puas; orang itu berlaku bingungi, kebingungan. Orang bingung biasanya masuk dalam kondisi labil, tidak menentu, sangat boleh jadi tabrak sana tabrak sini. Kasihan sebetulnya, tetapi karena nuruti durung marem, belum puas tadi, orang itu berlaku kurang seimbang.

Hasil sementara pemilu  2024 sudah mulai nampak,  siapa bakal tamat, siapa pula akan merasa wis tutug, namun siapa pula merasa durung tutug.

Mari kita ikuti penuh kewaspadaan proses selanjutnya  dengan catatan penting: Waspadai mereka yang bingung dan bingungi; sebab gangguan terbesar terhadap proses baik selalu ada pada pihak-pihak yang bingung dan bingungi ini.

Tetaplah berjaga-jaga!

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University