blank
Ilustrasi. Foto/Reka: R. Widiyartono

Oleh Marjonoblank

DATA Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat, ada 83.794 desa/kelurahan di Indonesia pada 2022. Jika kita telusuri, para pemimpin itu sejatinya dari desa. Kita pahami, pemimpin tak sedikit berawal dari perhatiannya ke bawah alias pedesaan. Bagaimana tidak, sebagaian besar wilayah dan penduduk Indonesia berada di area tersebut. Dengan demikian, akan arif kala gairah perhatian kepada seluruh wilayah pedesaan di republik ini menaik.

Kekuatan desa tak bisa diremehkan dan menjadi energi baru pada setiap era kepemimpinan. Oleh karenanya, desa harus ditempatkan pada posisi terhormat, seperti tertuang dalam Undang-undang Desa berikut peraturan turunannya. Desa harus digarap dengan sungguh-sungguh, paling tidak menarik isu-isu pedesaan setara dengan isu-isu pembangunan lainnya, seperti isu kemiskinan, yang kini menempati angka 25,90 juta jiwa atau 9,36 persen, belum lagi soalan kekerasan terhadap perempuan, anak, disabilitas dan perkara pendidikan serta kesehatan lainnya.

Pedagogi terbaik membalik kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri. Artinya, untuk melompat dari kubang kemiskinan tidak bisa dilakukan hanya menggantungkan pemerintah saja. Muasal kemiskinan bisa berangkat dari struktur, dampak sebuah kebijakan, dan sistem dalam masyarakat. Dalam menghalau kemiskinan, yang diperlukan bukan hanya panasea (resep mujarab) yang didukung dana atau dianggarkan dari APBN maupun APBD, tapi juga lingkungan yang mampu melahirkan kreativitas warga miskin bisa berimajinasi, kreasi, inovasi dalam produksi.

Pada belahan jagat ini kita kita mengenal Pierre Tritz (Yayasan ERDA, Filipina), Bunda Teresa (Ordo Missionaries of Charity, India), dan Muhammad Yunus (Grameen Bank, Banglades). Dengan prinsip kerja tanpa pamrih, mengedepankan pendekatan cinta kasih, dan perjuangan heroik, mereka ikut mencerdaskan bangsa dan mengentaskan dari kemiskinan, tanpa bergantung atas program dan anggaran dari pemerintah (Kompas, 30/1/2014).

Maka kemudian, diperlukan upaya penguatan desa. Menyangkut penguatan kapasitas aparatur desa maupun kelembagaan desa sampai dengan anggaran yang harus dikelola desa. Dengan demikian nampaknya perlu disiapkan model pelatihan pengelolaan keuangan atau akuntansi desa secara baik.

Salah satu jurusnya dengan melibatkan lembaga antikorupsi, perguruan tinggi dan kalangan LSM yang peduli dan konsentrasi pada pemberdayaan masyarakat dan desa. Kita tahu, masih saja ada penyelewengan penggunaan APBDesa dan atau secara khusus dana desa yang cukup besar bagi ukuran desa. Pemerintah telah menyiapkan dana tak kurang Rp 71 trilun pada tahun 2024. Setiap sosok pempimpin, kerap menerbitkan spirit dan asa baru bagi masyarakat pedesaan.

Penguatan, salah satunya ditempuh dengan memperbesar kewenangan desa, sehingga desa mampu bangkit, berdiri dan berlari membangun desanya dengan mengoptimalkan pandapatannya. Karena selama ini masih saja ada pemerintah daerah yang memungut hasil dari pasar tradisional, obyek wisata desa, dan sebagainya. Inilah gesekan lembut yang tidak boleh terbiar.

Jajaran birokrat kadang melemahkan eksistensi desa dengan stempel-stempel underestimate. Contoh, kegagalan suatu program yang selalu ditimpakan kepada desa dengan segala rupa; kapasitas sumber daya desa rendah, kemampuan aparat desa kurus maupun desa yang selalu dilabeli sebagai kantong atau lumbung kemiskinan.

Pada relasi ini, pula peran media massa pun penting mengangkat wilayah pedesaan yang akrab dengan stigma kemelaratan untuk bangkit, bangun dan berjuang menuju desa yang gemah ripah loh jinawi. Di ujung lainnya, perlu kita push media yang menyediakan diri dan memfokuskan pemberitaan pedesaan secara ajeg. Barangkali itu sebagian kutub lain yang patut dilirik oleh pemimpin baru mendatang.

Test-case

Tak bisa diabaikan, siapapun pemimpin mesti punya sense of village.  Pendekatan Actor layak di ketengahkan ke desa. Karena dengan memberikan authority (kewenangan) penuh kepada desa, maka desa akan bersemangat bergiat membangun, confidence dan competency (kepercayaan dan kemampuan diri). Dengan memberikan kepercayaan yang tinggi kepada desa dalam pelaksanaan pembangunan dan menumbuhkan kemampuan diri, maka masyarakat akan secara bertanggung jawab mengelola potensi sumberdaya setempat secara optimum.

Truth (keyakinan), sudah seharusnya seluruh pemimpin mendorong keyakinan desa bahwa semua persoalan desa akan terurai dan ada jalan keluarnya ketika desa meneguhkan dirinya selaku aktor dan tidak selalu merasa diawasi dalam mengelola pembangunan, dan tak menganggap desa hanya menjadi objek pembangunan.

Dan yang terakhir penting memberikan opportunity (kesempatan) kepada desa untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri dengan mendorong desa menuju desa berdikari (berdikari dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya).

Perhatian pemimpin kepada desa sekurangnya turut berkontribusi atas pendidikan politik dalam spirit kemerdekaan pada wilayah desa. Hal ini bisa saja diwujudkan lewat pemimpin dengan menggerakkan desa menjadi kuat dan berdaya menghadapi rerupa tantangan dan masalah desa secara terintegrasi. Semoga saja para pemimpin selalu merawat janji suci memakmuran dan menyejahteraan desa, seperti halnya Merpati tak pernah ingkar janji.

Kita bisa saja membayar seorang guru untuk mengajarkan sesuatu kepada desa, tetapi kita tidak pernah bisa membayar seseorang untuk peduli terhadap desa. Inilah spirit demokrasi dan kemerdekaan dalam semangat pemberdayaan masyarakat. Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya.

Penulis Muhammad Sobary pernah mengungkapkan, ada hal-hal yang memang harus dipertahankan calon pemimpin terkait dengan membidik titik-titik konsentrasi dari perdesaan terutama kesahajaan masyarakatnya. Modern bukan berarti harus menjadi egois, meninggalkan sifat-sifat baik ala orang Indonesia, dan membiarkan adat orang timur tergerus kebudayaan lain.

Bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, menghargai leluhurnya dan asal-usulnya, sehingga karakteristik mereka sebagai suatu bangsa pun kuat, pemahaman mereka terhadap negaranya pun mendalam.

Tak ada buruknya jika pemimpin mau mengambil pelajaran dari YC. Yen (1920), yaitu  “go to the people, live among the people, learn from the people, plan with the people, work with the people, start with what the people, build on what the people, teach by showing, learn by doing, not a showcase, but a pattern, not odds an ends, but a system, not piecemeal, but integrated approach, not to conform, but to transform, not relief, but release.

Harapannya, kepada pemimpin diseluruh level, program-program kedesaan lebih punya daya dobrak untuk mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera dan bermutu. Tidak ada salahnya jika pemimpin juga berorientasi desa, memberikan perhatian lewat pengetahuan, ketampilan dan sikap serta keleluasaan penuh kepada desa dalam membangun, menjamin kemerdekaan dan kesejahteraan bagi kehidupan desa. Desa menjadi test-case pemimpin kita.

Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah