blank
Ilustrasi wartawan sedang mewawancarai narasumber. Foto: istock

Oleh: Amir Machmud NS

blankSIKAP kewartawanan dan kebijakan pemberitaan, lewat serangkaian mekanisme agenda setting, framing, dan orientasi kebijakan, sejatinya menyodorkan dua keniscayaan ruang bagi wartawan.

Pertama, ruang yang konsisten menarasikan sikap tentang kebajikan. Kedua, ruang dengan orientasi bias yang menjauhi hakikat fungsi pers/media.

Secara normatif, rumusan kebajikan wartawan teramanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ada empat fungsi media, yakni memberi informasi, memberi edukasi, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial.

Fungsi mulia itu tak mungkin dijalankan sebagai sikap kewartawanan manakala tidak didasari iktikad fungsional, antara lain dengan memahami hukum pers dan memancarkan penghayatan Kode Etik Jurnalistik. PWI Pusat era kepemimpinan Hendry Ch Bangun saat ini menegaskannya dalam diksi “wartawan berakhlak” sebagai indikator kompetensi profesional.

Iktikad fungsional itu bisa berubah bentuk apabila media dijalankan hanya dengan berkiblat pada fungsi “petualangan” ekonomi.

Memang, pada satu sisi, fungsi bisnis jelas media tak bisa dinomorsekiankan. Media hidup bertopang pada kebutuhan biaya produksi. Pada tingkat minimalis pengelolaan media online sekarang, biaya itu antara lain berupa jaminan layak bagi wartawan dan pengelolanya, baik pendapatan, kesehatan, maupun hari tua. Juga investasi infrastruktur teknologi informasi dan ongkos perawatannya.

Pada sisi lain, tuntutan moralitas profetik sikap wartawan merupakan gambaran das sollen, bahwa di tengah arus masif bisnis viralitas informasi, media tetap terposisikan sebagai pilar demokrasi dan pejuang idealisme.

Breakdown dari tuntutan kemuliaan itu, antara lain diikhtiarkan secara sistematis berupa up grade profesionalitas, uji kompetensi wartawan, dan berbagai bentuk agenda pendidikan/pelatihan untuk mengasah dan merawat ketajaman nurani kebajikan.

Menjadi Rahmat
Tak pelak, dalam fungsi spiritual “dari kegelapan menuju cahaya”, kompetensi wartawan setara dengan kesadaran posisional bahwa dia menjadi “pusat pemancaran kebajikan” yang merupakan cakupan komprehensif empat fungsi pers.

Kompetensi profesional tak bisa termaknai hanya dari unjuk kecakapan dan kemahiran teknis jurnalistik, melainkan harus berkemampuan eksplorasi etik (mengelola hati nurani).

Komprehensivitas atau ke-kaffah-an inilah yang memberi harapan tentang “rahmat” dan “berkah”. Dari pancaran Kode Etik Jurnalistik, yang dihadirkan adalah kemanfaatan untuk semua, dan bukankah ini mewartakan harapan tentang “rahmat untuk semesta”?

Paradoks dari wartawan sebagai “rahmatan lil alamin” adalah realitas selalu adanya “usikan kepentingan” yang tak jarang menyeret mereka untuk memilih posisi keberpihakan, yang tentu menjauhi hakikat “rahmat untuk semesta”. Ada kenihilan nilai pada orientasi yang diperjuangkan. Ada arah pragmatis yang sedemikian rupa dikonstruksikan. Dengan pilihan posisi seperti itu, sikap “berakhlak” pastilah terpinggirkan.

Posisi Jurnalistik
Kita tidak harus merumuskan peran “rahmat untuk semesta alam” ini dengan segala kerumitan parameter.

Cukup direfleksikan dalam mindset: dengan keyakinan pilihan hendak ke mana indera jurnalistik kita arahkan? Dalam bentuk-bentuk pemberitaan yang seperti apa? Ke mana arah penginfornasian itu? Punya tujuan apa, dan untuk siapa?

Pusaran arus kehidupan sosial – politik – ekonomi, bertarik-menarik yang terkadang tidak disadari menyeret, menceburkan, menjungkirbalikkan orientasi, dan memosisikan aneka peran ke arah kepentingan secara sistemik, pun memantul ke dalam jagat praktik jurnalitik dan pilihan jalan bermedia.

Era komunikasi dan informasi yang disruptif menyuburkan realitas perkembangan semacam itu. Betapa sulit menegakkan benang basah kemuliaan nilai-nilai jurnalisme ke dalam praktik idealistik bermedia.

Perlombaan untuk “menyenggol” algoritma google dalam jagat google adsense menjadi realitas lain yang suka atau tidak suka menggerus nilai keakhlakan dan kualitas jurnalistik.

Jika elan “wartawan sebagai rahmatan lil alamin” hanya dipandang mengapungkan kehampaan ide dan nilai, atau katakanlah dianggap sebagai impian yang “ngayawara”, bersiap-siaplah jagat jurnalistik tak lagi diharapkan mampu memancarkan tujuan kemaslahatannya.

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah, dan dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW