blank
Jokowi saat di Kawasan Titik Nol IKN, yang ada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Senin (14/3/2022). Foto: setneg

Oleh: Tjoek Suroso Hadi

blankIBU Kota Nusantara (IKN), menjadi ikon yang prestisius dari program seorang capres tahun 2024, yang nanti akan menggantikan Presiden RI Joko Widodo. Hal mana IKN ini telah dibahas di tataran DPR RI, dengan terbitnya UU no: 3 tahun 2022, dan telah disempurnakan sebagai perubahan, yaitu UU no: 21 tahun 2023.

Adapun substansi pada UU no: 3 tahun 2022 adalah, bahwa IKN memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan ; (1). Menjadi kota berkelanjutan dunia, (2). Sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, dan (3). Sebagai simbol identitas Nasional yang merepresentasikan keberagaman Bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945.

Kemudian pada perubahan UU no: 21 tahun 2023, yaitu mengenai luas wilayah daratan dan lautan, kewenangan otorita Ibu Kota Negara, pendanaan, dan pengelolaan anggaran pendapat dan belanja, dan lain-lain. Pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintah Khusus Ibu Kota Nusantara bersumber dari ; (a). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, (b). Anggaran Pendapatan dan Belanja Ibu Kota Nusantara, dan/atau (c). Sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh karenanya. wacana untuk memindahkan Ibu Kota Negara RI dari Kota Jakarta ke IKN, sudah diambang pelaksanaannya, serta progress pelaksanannya masih dalam pengerjaan.

Kilas Balik
Kota Jakarta yang dahulu sangat ideal untuk dijadikan pusat pemerintahan, budaya, ekonomi, perdagangan, maupun politik, sekarang sudah terbalik dan tidak ideal lagi. Kondisi Kota Jakarta yang sekarang ini, nampaknya sudah sangat semrawut dan tidak layak sebagai Ibu Kota Negara.

Secara fisik permasalahan yang sekarang muncul di Kota Jakarta, adalah dengan adanya; banjir, kemacetan lalu-lintas, permasalahan sosial kemasyarakatan, pertambahan penduduk, kualitas kejahatan, tawuran antarpelajar atau antargeng, dan seterusnya. Sehingga menjadikan Kota Jakarta semakin hiruk pikuk, dan “gaduh”.

Pada persoalan kemacetan lalu-lintas, dapat terlihat betapa seluruh jalan raya di kota ini sudah sangat padat dan overload. Apabila sudah terjadi kemacetan lalu-lintas, maka kecepatan kendaraan disana paling banter 5 Km/jam, malahan hampir pasti lalu-lintas sering macet total, sehingga semua kendaraan tidak bisa bergerak sama sekali.

Fenomena ini selalu muncul setiap hari di seluruh jalan reguler di Jakarta, bahkan kemacetan tadi bisa merambah sampai ruas jalan tol. Sehingga sangat ironis, bahwa jalan tol yang seharusnya bebas hambatan pun, bisa terjadi kemacetan. Apalagi kondisi kemacetan itu diperparah dengan adanya iring-iringan mobil pejabat yang akan minta jalan, sehingga harus mampu membedah kemacetan lalu-lintas yang sangat rumit. Kondisi itu diperparah dengan semakin sempitnya ruas jalan, karena telah diiris sebagian untuk jalur Busway.

Selanjutnya, fenomena banjir yang telah merambah di seluruh wilayah Jakarta, sudah menjadi pemandangan yang biasa. Sehingga dari kondisi itu dapat disimpulkan bahwa, kondisi drainase kota tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Sungai-sungai besar yang membelah kota semakin sempit, kotor, kumuh, dan sampah sering menyumbat gorong-gorong, sehingga kondisi ini sangat tidak ideal lagi. Apalagi wilayah perbukitan di sebelah selatan Kota Jakarta, sering mengalami alih fungsi lahan, sehingga jika terjadi hujan, maka air hujan akan menggelontor ke wilayah Jakarta, dan menjadi banjir.

Kemudian dari aspek perilaku masyarakatnya yang mukim di Jakarta, sudah tidak kondusif, terutama mengenai kedisiplinan dalam berkehidupan, perilaku (attitude), cara membuang sampah, perkelahian massal, serta adanya kejahatan-kejahatan, dan lain sebagainya.

Persoalan perilaku dan berkehidupan kota, maka oleh Sztompka (2007), bahwa perilaku masyarakat kota sudah mendunia, yaitu mengalami globalisasi kultur. Sedemikian hebatnya penetrasi kultural barat, ternyata mampu mempengaruhi penduduk perkotaan di dunia, yang akhirnya mereka menjadi cerdas, kritis, mengetahui persoalan hukum namun menjadi sombong, dan akhirnya sifat guyup masyarakat menjadi pudar.

Dari potret Kota Jakarta itu, maka terlihat kota ini sudah sangat parah, ibaratnya bila orang hidup di Jakarta sudah seperti hidup di alam kesempitan, kepenatan, dan kesumpekan, sulit untuk bernafas, hiruk pikuk knalpot, klakson, polusi udara, seringnya menyaksikan perkelahian massal antarkampung, perkelahian antarsuporter sepak bola, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya Ibu Kota Negara RI di Jakarta, dapat pindah ke kota lain, dengan kriteria dan prediksi strategis dari calon ibu kota itu. Apabila Bung Karno dulu pada tahun 1950an, sudah pernah menyarankan Ibu Kota Negara RI pindah ke Kota Palangkaraya. Pertimbanganya adalah, Kota Palangkaraya berada di tengah-tengah wilayah Negara RI, yaitu dari batas Sabang sampai Merauke. Maka perpindahan Kota Jakarta ke ibu kota yang baru kali ini, sudah diperhitungkan secara matang.

Namun terlebih dahulu kita membuat kriteria-kriteria ideal sebuah Ibu Kota Negara. Kriteria yang dimaksud, disamping letak geografis dan geomorfologi, bisa dijangkau oleh wilayah lain secara merata, serta tingkat aman dari gempa dan tsunami, maka kriteria lain meliputi, (1). Ibu Kota Negara adalah mempunyai implikasi sebagai pusat kegiatan Nasional dan internasional, (2). Sebagai pusat pemerintahan (kekuasan), (3). Sebagai pusat pengendali seluruh kebijakan Nasional, (4). Sebagai tempat berkumpulnya perwakilan-perwakilan negara sahabat (duta-duta besar), (5). Ibu Kota Negara secara fisik harus mempunyai ciri khas sebagai identitas dan kepribadian Bangsa Indonesia, (6). Mempunyai keteraturan, baik pola pergerakan lalu-lintas darat, lay-out tata ruang, landskap, drainase kota, serta dukungan infrastruktur lainnya.

Oleh karena itu, dari beberapa kriteria tadi dapat dirumuskan lagi bahwa, bila Ibu Kota Negara harus mempunyia implikasi pusat kegiatan Nasional dan internasional, maka perlu ada dukungan; (a). Bandara internasional, (b). Pelabuhan internasional, (c). Fasilitas kegiatan berskala Nasional dan internasional, baik pada aspek kepemerintahan, hubungan bilateral, pendidikan, olahraga, keagamaan, dan lain sebagainya. Kemudian bila Ibu Kota Negara sebagai pusat kepemerintahan atau kekuasaan, maka perlu dukungan; (a). Istana Negara, (b). Kantor DPR RI, (c). Kantor Kementerian, (d). Kantor Markas Besar TNI dan Polri, dan Markas Batalyon TNI, (e). Kantor-kantor setingkat menteri, dan lain sebagainya. Sedangkan Ibu Kota Negara sebagai pusat kebijakan Nasional, maka harus ada dukungan, (a). Kantor pusat informasi dan komunikasi Nasional, (b). Stasiun pemancar baik radio maupun TV, dan lain sebagainya.

Ibu Kota Negara menjadi tempat berkumpulnya para duta besar, maka perlu kantor-kantor duta besar, yang direncanakan dan ditempatkan kedalam satu wilayah tertentu, dengan memakai konsep Real Estates of Ambassador.

Kemudian Ibu Kota Negara harus mempunyai ciri khas kepribadian bangsa, maka butuh dukungan (a). Seluruh bangunan adalah menggambarkan budaya khas Indonesia, dan sesuai dengan lokasi kotanya (building guidelines). (b). Mempunyai tempat ibadah untuk beberapa agama yang sah di Indonesia pada satu wilayah tersendiri, (c). Mempunyai tetenger berskala gigantis, dapat berupa bangunan menjulang tinggi, atau sebuah patung (shculpture). Dan untuk IKN, telah dirancang bangunan kantor Presiden berbentuk Burung Garuda, yang sedang mengepakkan sayapnya.

Selanjutnya, Ibu Kota Negara harus mempunyai kehidupan yang dinamis, maka perlu ada pusat-pusat rekreasi berskala internasional, hotel berbintang, serta aksesibilitas antarkota-kota di sekitarnya perlu dibuat, sebagai contoh dengan adanya jalan bebas hambatan. Kota Ibu Kota Negara ini direncanakan dalam keteraturan dalam aksesibilitasnya, baik dari luar untuk menuju ke ibu kota serta akses di kawasan ibu kota itu sendiri.

Semarang, 10 Februari 2024

Tjoek Suroso Hadi; Dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Planologi, Unissula, Semarang