blank
Dr. Djoko T. Purnomo, S.H.,M.H

Oleh : Dr. Djoko T. Purnomo, S.H.,M.H.

Kasus ancaman terhadap aktivis lingkungan di Indonesia kian mengkhawatirkan. Tiap tahunnya sejak 2014 hingga 2023, peningkatan kasus ancaman terhadap pembela lingkungan makin melonjak. Terakhir yang sangat menyita perhatian adalah kasus Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dan digugatnya Profesor Bambang Hero oleh sebuah perusahaan kelapa sawit.

Tak kalah menariknya adalah dilaporkannya 4 orang aktivis lingkungan hidup Karimunjawa yang selama ini aktif menyuarakan penolakannya terhadap kehadiran tambak udang intensif yang dinilai merusak lingkungan hidup di Karimunjawa yang telah ditetapkan menjadi Kasawan Strategis Pariwisata Nasional, Taman Nasional dan Cagar Biosfer Dunia.

Satu orang dilaporkan ke Polres Jepara dan tiga orang ke Polda Jateng oleh petambak udang intensif. Bahkan satu orang bernama Daniel Frits MT yang dilaporkan ke Polres Jepara telah ditetapkan sebagai tersangka, ditahan dan akan menjalani sidang pwesB tanggal 1 Februari 2024. Mereka dijerat dengan pasal UU ITE, yang dikenal sebagai pasal karet.

Auriga Nusantara menyebut, kurun waktu 2014-2023, setidaknya terjadi 133 tindakan SLAPP atau ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia. Angka ini dicatat Auriga Nusantara dengan mengumpulkan informasi yang tersedia di ruang publik dan atau disampaikan langsung oleh korban dan atau pihak lain yang mengetahui ancaman tersebut.

Peningkatan kasus ancaman terhadap pembela lingkungan kembali melonjak pada 2021 bila dibandingkan 2020, ketika omnibus law (Undang-undang Cipta Kerja) disahkan.

Adapun rincian kasus ancaman terhadap pembela lingkungan, yakni pada 2014 sebanyak 5 kasus, tahun 2015 sebanyak 5 kasus, 2016 terdapat 2 kasus dan 2017 terjadi 14 kasus. Sementara pada 2018 terjadi 4 kasus, di tahun 2019 ada 8 kasus, tahun 2020 melonjak menjadi 14 kasus dan di tahun 2021 terjadi 24 kasus. Pada tahun 2022 terjadi 27 kasus dan terus meningkat pada 2023 sebanyak 30 kasus

Pelaporan terhadap sejumlah aktivis lingkungan hidup diduga merupakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Tindakan ini acap kali dilakukan pihak yang terganggu oleh upaya penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh para aktivis lingkungan.

Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) secara sederhanan konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Pring dan Canan pada 1988. Keduanya mengobservasi kecenderungan redamnya aktivitas perjuangan para aktivis, putusnya dukungan baik sumber daya maupun pendanaan, serta matinya kelompok masyarakat dalam memperjuangkan haknya akibat ketakutan yang timbul ketika sejumlah anggota kelompok didudukkan sebagai terdakwa atau tergugat dalam suatu tuntutan hukum dan menghadapi klaim moneter atas tindakan yang mereka lakukan.

Sejatinya urgensi menguatkan payung hukum perihal Anti SLAPP menguat pasca terbitnya Revisi UU Mineral dan Batubara serta UU Cipta Kerja yang secara signifikan mendeteorisasi peluang masyarakat luas untuk berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Akibatnya, terdapat potensi kriminalisasi dan penyerangan yang masif bagi pejuang lingkungan hidup pasca berlakunya kedua undang undang ini. Hal ini perlu direspons oleh legislasi sehingga mampu melindungi pejuang lingkungan.

Sayangnya, hingga saat ini payung hukum mengenai Anti SLAPP bagi pejuang lingkungan terbilang belum memadai. Di mana saat ini hanya ditemukan tiga bentuk legislasi yang melindungi pejuang lingkungan.

Pertama adalah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (UU PPLH). Dalam ketentuan Pasal 66 undang undang tersebut diatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Kedua, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup*
Beleid tersebut menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat agar tidak dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal tersebut menjadi perhatian serius MA. Sebab persoalan lingkungan bukan hanya tentang kondisi saat ini, melainkan tentang kelangsungan generasi di masa mendatang. Setiap mahluk hidup memiliki hak untuk berada dan tinggal di lingkungan yang baik dan sehat, termasuk generasi setelah kita yang hidup di masa yang akan datang juga memiliki hak yang sama dengan kita saat ini

Ketiga, melalui Surat Keputusan Ketua MA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013)

SK ini menjelaskan bahwa perlindungan hukum dalam ranah Anti SLAPP diberikan terhadap pejuang lingkungan yang menempuh ranah litigasi dan dapat diajukan dalam bentuk provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi (dalam perkara perdata) dan/atau pembelaan (dalam perkara pidana) dan wajib diputus terlebih dahulu dalam putusan sela.

Dari paparan tersebut maka hambatan legislasi Anti SLAPP saat ini berorientasi pada empat hal.

Pertama, belum adanya instrumen hukum yang melindungi pejuang lingkungan dalam ranah non-litigasi.

Kedua, belum adanya sistem hukum acara perdata maupun acara pidana yang secara khusus dan rinci menjabarkan mengenai bagaimana perkara Anti SLAPP akan ditangani.

Ketiga, baru Mahkamah Agung selaku institusi Aparat Penegak Hukum (APH) yang mengindahkan pengaturan mengenai Anti SLAPP dalam peraturan internalnya, padahal proses SLAPP dapat menyentuh seluruh lini institusi APH terutama kepolisian dan kejaksaan.

Keempat, peraturan Anti SLAPP oleh Mahkamah Agung masih berbentuk Surat Keputusan sehingga sifatnya beschikking, akibatnya tidak bersifat mengatur.

Mengawal Pembaharuan Hukum Anti SLAPP

Tindak lanjut pengaturan mengenai Anti SLAPP di Indonesia menguat pasca munculnya wacana dari pemerintah yang menyiapkan rancangan draf Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Anti SLAPP. Aturan ini direncanakan akan membahas mengenai mekanisme penanganan SLAPP untuk pejuang lingkungan melalui identifikasi kasus SLAPP oleh menteri berupa rekomendasi tentang perkara SLAPP.

Rekomendasi ini selanjutnya akan dilimpahkan kepada APH terkait dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun hingga kini belum ada kejelasan kapan aturan ini akan diterbitkan.

Inisiatif tersebut sejatinya terbilang baik, namun belum mampu menjawab akar permasalahan SLAPP di Indonesia saat ini.

Untuk itu, perlu adanya akomodasi konsep Anti SLAPP dalam hukum acara pidana dan perdata guna menyokong efektivitas jalannya perkara berkarakteristik SLAPP serta pengaturan lanjutan Pasal 66 UU PPLH yang diterjemahkan dalam rangkaian aturan internal APH yang menangani jalannya perkara.

Ironisnya, permasalahan tersebut nampaknya masih belum menjadi prioritas reformasi hukum dan belum menjadi perhatian Aparat Penegak Hukum kita

Penulis adalah aktivis tinggal di Jepara