blank
Gedung Butterworth yang merupakan bangunan cagar budaya di Kawasan Kota Lama Semarang roboh pada Senin (22/1/2024) sore. Foto: hp

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Gedung Butterworth yang merupakan bangunan cagar budaya yang berada di Kawasan Kota Lama Semarang roboh, Senin (22/1/2024) sore.

Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang segera mengambil langkah. Disbudpar bersama tim cagar budaya bahkan telah melakukan pemeriksaan gedung bekas pusat ekspor rempah tersebut.

Bahkan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang terus memantau gedung-gedung tua yang berada di kawasan Kota Lama yang tidak digunakan agar kejadian serupa tidak terulang.

Kepala Disbudpar Kota Semarang, Wing Wiyarso mengakui kesulitan dalam mencari pemilik bangunan di Kota Lama, termasuk gedung Butterworth yang baru saja roboh.

“Banyak pemilik bangunan yang tidak berada di Semarang, sehingga sulit untuk menghubunginya. Beruntung kami berhasil mendapatkan nomornya, dan segera meminta untuk menyelamatkan sisa bangunan yang roboh,” ungkap Wing, Selasa (23/1/2024).

Ia menilai gedung yang roboh itu lantaran banyak rusak akibat usia dan kurangnya perawatan yang baik.

Pemerintah Kota Semarang terus berupaya mengingatkan para pemilik bangunan untuk merawat aset mereka di Kota Lama Semarang.

Untuk saat ini, lanjut Wing, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BP2KL), Tim Cagar Budaya, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Pekerjaan Umum langsung mengamankan sisa material bangunan yang roboh tersebut.

blank
Kepala Disbudpar Kota Semarang Wing Wiyarso. Foto: DOk SB

“Kayu dan kusen ini memiliki nilai otentik dan tidak mungkin direproduksi, sehingga perlu dilestarikan. Orang yang dipercayai oleh pemilik gedung juga hadir, jadi kami meminta untuk mengamankan sisa bangunan tersebut agar tidak roboh lagi,” tambah Wing Wiyarso.

Menurutnya, revitalisasi bangunan tersebut sebenarnya merupakan wewenang dari sang pemilik gedung. Pihak Pemkot Semarang hanya mendukung saja atas keberadaan bangunan yang ada di kawasan cagar budaya tersebut.

“Pemkot siap mendukung, tetapi kembali kepada pemiliknya ada yang berada di luar negeri atau di luar kota sebagai individu. Kami juga akan terus memantau, karena banyak bangunan yang kokoh dari luar tetapi mengalami kerusakan di dalam,” jelasnya.

Sementara itu, Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mendorong kepada pemilik gedung di kawasan Kota Lama untuk melakukan perawatan. Pihaknya juga meminta para pemilik gedung tua di Kawasan Kota Lama untuk bisa melakukan revitalisasi agar tetap terawat.

Mbak Ita, sapaan akrabnya, menyoroti bangunan tak bertuan, termasuk yang roboh pada Senin (22/1/2024) kemarin.

Dirinya mengaku cukup kesulitan untuk mencari pemilik bangunan tak bertuan. Bahkan kesulitan mengirim surat kepada pemilik bangunan untuk melakukan revitalisasi karena tidak diketahui pemiliknya.

“Memang kami kesulitan mencari pemilik bangunan karena kalau kita mau melakukan bersurat tapi ada beberapa yang tidak bertuan dan tidak tahu pemiliknya siapa. Yang kemarin sore (gedung roboh) belum diketahui pemiliknya siapa,” katanya.

Setidaknya, lanjut Mbak Ita, ada sekitar 10 bangunan di kawasan Kota Lama Semarang yang tidak diketahui pemiliknya. Termasuk bangunan milik BUMN yang tak digunakan, ia meminta agar segera direvitalisasi.

“Kami berupaya melakukan pencegahan agar tidak terjadi lagi bangunan yang roboh. Ada sekitar 10 (bangunan-red) yang tidak diketahui, ada yang masih sengketa,” terang Mbak Ita.

Ada pula, bangunan lama yang merupakan bekas Hotel Dibya Puri yang saat ini kondisinya sudah memprihatinkan, padahal memiliki nilai sejarah tinggi.

“Saya sudah minta ada revitalisasi karena tidak enak dipandang mata karena letaknya berada di jalan utama,” kata dia.

Pemkot Semarang juga menggandeng PT Sarinah untuk merestorasi lima bangunan di kawasan Kota Lama di antaranya gedung PTP, Jiwasraya, dan Djakarta LLoyd. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut rencana tersebut.

“Sampai sekarang belum ada follow up lagi. Minimal merawat agar bangunan tidak roboh,” ucapnya.

Upaya penataan dan pembersihan lingkungan Kota Lama Semarang sudah dilakukan pemerintah. Namun, pemerintah tidak bisa melakukan pembersihan di dalam gedung mengingat bukan milik pemerintah.

“Butuh peran serta pemilik untuk turut menjaga Cagar Budaya dan melakukan revitalisasi,” tutup Mbak Ita.

Sebagai catatan, dalam sejarahnya gedung tersebut adalah kantor Firma Butterworth & Co. sebuah perusahaan perdagangan komoditas agrikultur yang berbasis di Semarang dan Surabaya dengan produk utamanya adalah komoditas kapuk.

Pegiat sejarah Kota Semarang, Yogi Fajri, saat diwawancarai SuaraBaru.id mengatakan, gedung kantor milik Butterworth & Co. sendiri terletak di Hogendorpstraat (kini Jalan Kepodang).

“Rencana pembangunannya sempat diberitakan oleh harian De Locomotief pada 13 Juli 1920, dan tak main-main arsitek yang ditunjuk adalah Ir. Schoemaker, sang arsitek kondang dari Bandung,” kata Yogi.

Bentuk bangunannya dari sisi ornamen pada saat itu di pintu masuk tampak jelas, seolah sebagai signature (penanda) karya Schoemaker seperti pada karya-karya arsiteknya di Bandung seperti gedung Landmark dan Majestic.

“Dari catatan sejarah, gedung dua lantai ini rampung pada 7 Januari 1922 seperti diberitakan oleh harian Indische Courant,” kata Yogi.

Menurut Yogi, perusahaan ini sendiri akhirnya berakhir kiprahnya pada Juni 1935, setelah Raad van Justitie Semarang (pengadilan pada saat itu) memutuskan bahwa Butterworth & Co. dinyatakan bangkrut.

“Butterworth & Co. bangkrut setelah perusahaan mengalami kesulitan finansial hingga tersandera kredit macet senilai 175.000 gulden atau setara dengan Rp 31,5 milyar. Dan sekarang yang tersisa dari jejak sejarahnya di Kota Semarang hanya bekas gedungnya saja,” pungkas Yogi.

Hery priyono