blank
Contoh penggunaan AI dalam kampanye pemilu yakni potret capres dan cawapres 2024 yang diedit menggunakan Artificial Intelligence (AI)/Foto: Instagram/@farisalmn

SUARABARU.ID Oleh: Fikri Shofin Mubarok MIKom

Artificial Intellegence (AI) atau yang dikenal dengan kecerdasan buatan menjadi salah satu inovasi baru yang bisa banyak membantu pekerjaan manusia. Termasuk dalam menyusun strategi kampanye yang lebih pintar dan terarah. Di tengah persiapan menuju pemilihan presiden pada tahun 2024, kita menyaksikan penerapan AI dalam alat peraga kampanye, yang terkadang mencuat dalam bentuk kontroversial.

Pemanfaatan AI dapat kita temui misalnya saja dalam pengolahan gambar calon presiden (Capres). Sebuah kampanye menggambarkan pendekatan inovatif dengan menggunakan teknologi AI untuk mengedit gambar calon presiden, menciptakan citra yang lebih menyatu dengan selera dan preferensi pemilih. Meskipun pendekatan ini mendapatkan sorotan karena menciptakan gambar yang lebih ‘memikat’ secara visual, hal ini juga memunculkan pertanyaan etika terkait manipulasi gambar dan kejujuran visual dalam kampanye politik.

Personalisasi pesan kampanye menjadi lebih nyata dengan penggunaan AI dalam menganalisis perilaku pemilih. Sebagai contoh, kampanye seorang calon presiden dapat menggunakan algoritma pembelajaran mesin untuk mengidentifikasi kecenderungan dan preferensi pemilih berdasarkan interaksi online mereka. Dengan data tersebut, kampanye dapat merancang pesan-pesan kampanye yang lebih sesuai dengan harapan dan nilai-nilai yang dihargai oleh pemilih individu.

Hadirnya chatbot cerdas dalam kampanye juga menawarkan contoh yang menarik. Sebuah kampanye memanfaatkan chatbot untuk memberikan informasi cepat dan terkini kepada pemilih terkait rencana, visi, dan misi calon presiden. Chatbot ini bukan hanya menjadi sumber informasi praktis tetapi juga menciptakan keterlibatan lebih langsung antara kampanye dan pemilih.

Pada konteks manajemen krisis, kita dapat merujuk pada sebuah peristiwa di mana AI digunakan untuk mendeteksi sentimen online terhadap isu-isu krusial. Sebuah kampanye merespons cepat terhadap potensi krisis dengan merancang pesan yang dapat memitigasi dampak negatif dan mendukung citra positif calon presiden.

Penggunaan AI membawa potensi inovasi yang besar, namun begitu isu etika dan privasi data harus tetap diperhatikan. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethikos.  Ethikos berarti timbul dari kebiasaan dan memiliki arti sesuatu dari cabang filsafat yang mempelajari nilai, karakter, watak kesusilaan atau adat atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2021), etika adalah ilmu yang mempelajari baik dan buruk, hak dan kewajiban moral.

Oleh karena itu penggunaan AI oleh tim kampanye masing masing capres harus memperhatikan etika agar tidak melewati batas batas kewajaran. Seperti kita ketahui bersama bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur senantiasa menjunjung nilai nilai kesopan santunan.

Demikian pula penggunaan teknologi AI harus diatur dengan cermat untuk mencegah manipulasi informasi dan melindungi hak privasi pemilih. Memang saat ini belum ada undang undang yang spesifik yang mengatur tentang hal itu. Namun setidaknya kita memiliki Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bisa dijadikan acuan agar demokrasi kita tidak semakin bebas dan semakin tidak bertanggung jawab.

Pemanfaatan AI sebagai alat peraga kampanye pada pemilihan capres Indonesia tahun 2024 dapat menciptakan kampanye yang lebih adaptif.  Sebuah kampanye yang memungkinkan kandidat terlibat secara personal dengan pemilih. Di atas semua itu tetap penting pula bagi mereka untuk tetap memperhatikan etika

  • Fikri Shofin Mubarok MIKom adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Sultan Agung