blank
Xavi Hernandez memimpin latihan di Ciutat Esportiva Joan Gamper, yang menjadi basis akademi klub FC Barcelona. Foto: barca

blankOleh: Amir Machmud NS

// takkan bisa kau sebut salah satu/ Barcelona atau Xavi Hernandez/ keduanya menyatu/ dalam sejarah dan waktu/ Barca Xavi/ Xavi-nya Barca/ inikah imajinasi nyata/ tentang sepak bola impian?//
(Sajak “Barcelona, dalam Pencarian”, 2024)

TAKKAN bisa kita memilih: Barcelona, atau Xavi Hernandez. Kedua entitas itu telah disatukan oleh jejak sejarah dan tradisi, bahkan ibarat “nyawa” yang saling menghidupi.

Akankah manajemen Barcelona memisahkan chemistry itu, seperti AC Milan yang “tega” membuang Paolo Maldini dari San Siro, dan tentu saja takkan pernah bisa menghapus sejarahnya?

Sebagai pemain, Xavi telah memberi puluhan trofi. Sebagai pelatih, dia baru membukukan satu trofi La Liga dalam debutnya, musim 2022-2023 plus Piala Super Spanyol untuk periode yang sama. “The Puppet Master” sukses mengawali pembenahan Barca untuk kembali menemukan platform menyerang berbasis possession football.

Musim ini, pendekatan taktik Xavi tampaknya mulai terbaca oleh klub-klub rival. Barca kehilangan unsur-unsur kejut dalam permainannya. Alur bola pendek posisional yang tidak diimbangi para “master” di setiap lini, tidak mengalir serancak harapannya.

Kehadiran Robert Lewandowski yang pada musim debutnya sangat menjanjikan sebagai mesin gol, akhirnya seperti tak membuahkan perbedaan. Pun unsur kejutan lainnya, bintang muda Lamine Yamal yang menyeruak di tengah ketrengginasan Pedri Gonzales, Gavi, dan Raphinha.

Tidak cocokkah formula Xavi untuk Barca era sekarang, seperti yang sukses dia poleskan untuk Al Sadd di Liga Qatar?

Atau karena ia tak punya pilar memadai seperti ketika Pep Guardiola membawa Barca di puncak kejayaan? Dari kiper Victor Valdez, Carles Puyol, Sergio Busquets, Xavi, Andres Iniesta, Lionel Messi, David Villa, Pedro Rodrigues.

Tiki-taka Pep adalah monumen sejarah yang menandai era kebesaran Blaugrana. Para pemain sekualitas penggawa andalan itu dilahirkan oleh sejarah, tak sembarang waktu didapatkan.

Jiwa masalah Barca kurang lebih sama dengan yang dihadapi Manchester United di Liga Primer saat ini. Ada beban sejarah, ketokohan, dan visi perubahan.

Paling Tidak Enak
Xavi sering mengungkapkan keluhan, hari-hari yang paling membuat tidak enak adalah menjadi pelatih Barcelona.

Tentu lantaran tekanan, tuntutan, dan beban untuk membawa klub ke orbit dunia yang selama ini identik dengan El Barca.

Padahal Xavi adalah sosok yang paling diharapkan untuk mengembalikan Barca ke atmosfer semestanya, setelah sederet pelatih penerus Pep Guardiola satu per satu bertumbangan, kecuali Luis Enrique yang sukses besar meraih treble pada 2014.

Kinerja Xavi di Al Sadd memikat manajemen Barca. Dia mampu membentuk klub Qatar tersebut bermain seelok ketika dia menjadi tulang punggung bersama Iniesta dan Messi. Namun ironis, Xavi belum berhasil mentransformasi tiki-taka di Camp Nou.

Walaupun sukses di musim perdana, permainan Barca tidak menunjukkan karakteristik indah sepak bola menyerang. Taktiknya dikritik serba-tanggung oleh Lewandowski yang menilai Xavi tidak berani menurunkan lebih banyak pemain bertipe penyerang, sedangkan posesivitas-nya tidak menghasilkan intensitas produktif.

Kekalahan 2-3 dari Royal Antwerp di penyisihan grup Liga Champions banyak disoal, walaupun Barca sudah lolos ke 16 besar. Xavi dipertanyakan, lantaran setelah itu Barcelona kalah 2-4 dari Girona yang sekarang memuncaki La Liga. Sergi Roberto dkk baru merasakan lagi kemenangan setelah menundukkan Almeria 3-2, pekan ini.

Sebelum bertemu Almeria, kekalahan dari Girona adalah yang keempat dari sembilan laga terakhir, yang dinilai tidak patut bagi klub juara La Liga.

Sorotan gencar di media bagaimanapun membuat Xavi terusik, “Bukankah kami masih bertahan di empat ajang?”, yakni di peringkat ketiga La Liga, Copa del Rey, Piala Super Spanyol, dan Liga Champions.

Hanya di Satu Masa
Awalnya, para cules tentu berpikir bakal segera menemukan kembali racikan permainan Barcelona yang seindah era Pep. Apalagi Xavi adalah aktor terbaik yang paham betul luar-dalam tiki-taka. Terbukti, langkahnya tidak sesederhana itu.

Kita pun jadi paham, tim-tim besar dengan kehebatan yang menguasai era tertentu, tak semudah itu direinkarnasi atau dilahirkan kembali.

Artinya, ada masa, ada titik eksepsionalitas yang hanya hadir pada “saat” yang bagai telah tertakdirkan…

Jadi akan lebih kuat manakah kita mendapatkan: Barca-nya Xavi, atau Xavi-nya Barcelona?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah