Oleh Marjono
HARI Ibu di Indonesia, memiliki makna sejarah perjuangan pergerakan perempuan, bukan sekadar satu hari di mana anak-anak memberi bucket dan coklat atau setangkai bunga atau memanjakan para Ibu. Lebih dari itu, Hari Ibu menjadi kebangkitan kaum perempuan dalam menggalang persatuan dan kesatuan perjuangan yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa Indonesia.
Tanggal 22 Desember dipilih sebagai Hari Ibu di Indonesia, untuk mengenang momentum 22 Desember 1928, kala pertama kalinya digelar Kongres Perempuan Indonesia. Gagasan peringatan Hari Ibu (PHI) ini muncul saat Kongres Perempuan III pada 1938. Tujuannya adalah memperjuangkan kemerdekaan dan memperbaiki keadaan perempuan Indonesia. Selain mencetuskan Hari Ibu, Kongres Perempuan III juga membawa isu berupa perbaikan gizi dan kesehatan bagi Ibu dan Balita, menghentikan pernikahan dini, serta perdagangan perempuan dan anak.
Sejatinya, berbagai persoalan terkait perempuan bukan hanya menjadi masalah perempuan saja, tapi merupakan masalah kemanusiaan. Sehingga perilaku yang meng-anggap perempuan sebagai objek harus di-hilangkan. Perempuan harus dijadikan mitra se-jajar bagi laki laki. Maka, tujuan PHI adalah menjadi Ibu Bangsa untuk me-wujudkan pribadi wanita Indonesia yang mandiri dan berbudi luhur.
PHI edisi 2023 kita mengusung tema, “Perempuan Berdaya, Indonesa Maju,” bukan saja peringatan untuk mengucapkan terima kasih atas jasa para Ibu yang begitu istimewa bagi seluruh masyarakat Indonesia, tetapi lebih dari itu, PHI sebagai effort mendorong semua pemangku kepentingan dan masyarakat luas untuk memberikan perhatian dan pengakuan akan pentingnya eksistensi perempuan dalam berbagai sektor pembangunan.
PHI sesungguhnya juga menjadi bagian apresiasi bagi semua perempuan Indonesia, atas peran, dedikasi, serta kontribusinya bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Kita tahu, terutama di wilayah pedesaan tak sedikit kaum Ibu yang hanya mengenyam tembok SD bahkan tak sekolah gegara miskin. Pada aras yang lain, kita saksikan Ibu-ibu yang terpaksa harus berjuang sebagai buruh, pekerja migran, sementara di ujung lain segerombol kaum Ibu juga menjadi korban perdagangan manusia.
Pada saat yang lain juga, kaum Ibu masih saja memunguti kusutnya nasib dan masa depannya karena mereka tertimpa PHK, bahkan yang menjadi korban bencana pun kebanyakan kaum Ibu dan anak-anak. Pada tembok sekolah, kampus maupun pesantren yang kita nilai aman, ternyata kaum Ibu junior mengalami kisah kelu yang harus mendapatkan pelecehan maupun korban predator seks. Di balik tembok domestik pun, kaum Ibu masih kerap mengalami KDRT.
Beberapa spot kisah kusam di tengah gemerlap dan gemulai kaum Ibu, tapi tak butuh disangsikan lagi, kasih ibu sepanjang masa, seperti disuarakan pada banyak lagu. Ibu itu tiang negara, kala ibu-ibu hebat maka negara pun akan kuat. Di balik sukses pria pun, tak bisa dilepaskan dari peran atau jasa seorang perempuan atau Ibu.
Betapa naifnya, kala ada anak yang hari ini mengirimkan membiarkan Ibunga menjadi penyandang masalah sosial kota, menjadi pemina-minta di jalanan. Miris, kala menyaksikan Ibu digaruk Satpol, kala diborgol Polisi, saat Ibu di-bully kaumnya sendiri. Mereka nampaknya pura-pura amnesia atau mengkelaim khilaf.
Atau melibatkan Ibu dalam perkara narkoba ataupun praktik ekonomi underground lainnya, atau melimpahkan tanggungan pinjol ilegal ke pundak sang Ibu. Parah lagi, anak anak yang memerkarakan Ibunya hanya gegara soal warisan dan langkah durjana dan durhakanya anak kala tega menipu apalagi menghabisi nyawa Ibunya sendiri. Sekolah kehidupan tak pernah mengajarkan demikian.
Bahasa pertama anak pun bahasa Ibu (mother tongue). Pada ujung lainnya, sebaliknya ada Ibu yang sampai hati menjual anaknya, menelantarkan anaknya, membuang anaknya atau membunuh anaknya. Penyokong terbesar praktik kelam kaum Ibu di atas lebih dipicu karena faktor kemiskinan yang menyembul. Kemiskinan juga yang acap menjadi pembenar aneka keterpurukan. Miskin material, miskin ilmu, miskin hati, miskin jiwa, miskin etika bahkan miskin inovasi, dan lain-lain.
Kisah Satrio
Hemat penulis, semua ibu adalah orang hebat. Ketika label “nyonya” melekat pada namanya, saat itulah perjuangan panjang dimulai. Seorang ibu membawa misi suci untuk mengandung, menggendong, dan menggandeng dan segenap kodrat lainnya. Artinya, ada totalitas jiwa dalam memenuhi amanat mulia tersebut.
Kesatu adalah mengandung. Banyak sekali risiko yang dihadapi ibu hamil. Ada yang mual dan muntah sepanjang hari, paribasan mangan wae ora kolu, boyoke pegel-pegel, mudah capek. Setelah mengandung, Ibu dihadapkan pada jihad fi sabilillah yang disebut melahirkan. Mempertaruhkan seluruh hidup demi mengantarkan sang buah hadir ke dunia. Bahkan tugas ibu melahirkan itu konon rasanya seperti 20 tulang patah bersamaan. Luar biasa.
Paska melahirkan, seorang ibu juga “menggendong,” merawat anak dengan sepenuh jiwa. Ketika si anak sakit, seringkali seorang ibu begadang demi menjaga si buah hati, meski kondisinya sendiri payah karena seharian mengurus rumah tangga. Ketika si anak mulai latihan jalan, dengan setiap seorang ibu menggandengnya, netah, agar si anak tidak terjatuh. Dan ini pegel-nya luar biasa.
Pada step selanjutnya, “nggendhong” dan “nggandheng” ini tidak hanya secara harfiah, namun juga mengandung makna filosofis merawat, membesarkan, dan mendidik anak sesuai perkembangan usianya. Seorang Ibu selalu siap mendengar setiap keluhan anaknya, mengajarkan kepada anak tentang hakekat hidup, kejujuran, dan kebijaksanaan dalam menghadapi setiap ujian, bahkan saat anak-anaknya sudah dewasa. Seorang Ibu itu ibarat guru besar universitas kehidupan.
Tak kurang baiknya atas budi baik Ibu, kita menonton kisah film “Ibu Maafkan Aku.” Dikisahkan, seorang ibu yang sederhana, tinggal di desa, rela menjalani profesi sebagai pemecah batu tidak sekedar untuk dapat bertahan hidup, namun agar anak-anaknya dapat sekolah setinggi mungkin, hingga jerih payah kerja kerasnya berhasil menghantarkan anak-anaknya jadi orang sukses.
Kasih sayang dan perjuangan seorang ibu memang tiada hentinya. Bertarung nyawa mengandung dan melahirkan anaknya, terus bertarung mengasihi dan membesarkan anaknya, terlebih disaat ditinggal suami tercintanya, ibu bertarung tanpa lelah membesarkan anak-anaknya hingga menjadi orang dengan cara yang tulus dan bijaksana.
Ada adegan yang menarik, saat anaknya Banyu telah menjadi pilot, Gendis menjadi dokter, sementara anaknya yang bungsu Satrio tidak naik kelas. Hartini, sebagai Ibu menghibur hati anaknya Satrio dengan bijaksana.