Oleh Marjono
SEPANJANG tahun 2023 (semester I), akumulasi OTT KPK mencatat tiga kali OTT. Angka ini berbeda dengan praktik OTT sebanyak 10 kali selama 2022. Pikiran positif kita, artinya tindak pidana korupsi berkurang dalam setahun terakhir. Meski kecil, tapi nilai tangkap angkanya masih cukup tinggi.
Menjulangnya angka korupsi di Indonesia telah menyebabkan semua sistem dan sendi kehidupan bernegara rusak karena praktik korupsi telah berlangsung secara merata dan membuat larut hampir semua elite politik.
Jika dibiarkan terus berlangsung dan tanpa tindakan tegas, korupsi akan menggagalkan demokrasi dan membuat negara dalam bahaya kehancuran.
Dresscode oranye tak pernah membuat jera, pemberitaan kasus di media hingga putusan hakim pun rasanya tak memutus mata rantai praktik korupsi. Seolah, pemberantasan korupsi itu hilang satu tumbuh seribu.
Buya Syafii Maarif, eksponen Ketua Umum PP Muhammadiyah memberikan predikat para koruptor tersebut menyebutnya dengan stigma tunabudaya.
Praktik korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tidak ada jalan pintas untuk memberantasnya dan tidak ada jawaban yang mudah.
Korupsi, tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, lembaga-lembaga demokrasi dan hak-hak dasar kemerdekaan, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan jutaan orang. Itu semua lebih pada keringnya praktik nilai kebudayaan kita.
Itulah kemudian, tak kurang baiknya kita kembali kepada kebudayaan lokal bangsa kita sendiri yang sarat dengan kearifan. Kita pernah diberikan warning oleh Ranggawarsita, “Jaman edan, yen ora ngedan ora keduman.”
Kalimat tersebut tentu bukan ajakan untuk ikut arus, tapi sebaliknya mengingatkan kita untuk tidak ikut gila. Pada konteks luas, korupsi mungkin saja menjadi bagian tanda jaman edan. Ironisnya, praktik korupsi itu tak sedikit dilakukan oleh orang terpelajar, berpendidikan tinggi dan mapan.
Ada baiknya, kita punguti nilai-nilai kebudayaan lainnya, yang adiluhung yang sekurangnya bisa menjadi rambu dan atau kopi pahit penyadaran agar kita tak terjebak pada praktik penyimpangan korupsi. Gusti ora sare. Kalimat seksi ini begitu bermakna dan bernyawa ketika kita mengedukasi anak-anak kita bahwa di mana pun, kapanpun kita selalu diawasi, dan Tuhan Maha Melihat apa yang kita perbuat, termasuk jika melakukan korupsi.
Gelaran nilai lainnya, yaitu sapa salah bakal seleh (siapa yang bersalah akan jatuh dan mundur), Aja cidra mundhak cilaka (jangan berbhng/menipu biar tidak celaka). Sing nandur bakal ngundhuh (siapa menanam akan menuai/berbuat bakal menikmati), jika menanam kebaikan maka keselamatan dan berkah selalu melekat, sebaliknya jika korupsi maka sanksi sosial dan hukum juga pengadilan Tuhan selalu menanti), maka jika berkorupsi balasan ketiganya selalu menunggu.
Sebentar kita coba buka lembaran Serat Wulangrehnya Sri Pakubuwana IV dalam pupuh Kinanthi, yaitu : Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, keprawiran den kaesthi, pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling. (Latih dan biasakanlah dalam hati nuranimu, agar peka terhadap pesan-pesan keutamaan, jangan hanya makan dan tidur, utamakan keperwiraanmu, kekang dan kendalikanlah ragamu, kurangi makan dan tidur).
Dadiya lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin. (Jadilah lakumu, mencegah makan dan tidur, juga jangan larut dalam kegiatan bersenang-senang, bersikaplah serba secukupnya, buruk watak orang bersenang-senang, dapat mengurangi kewaspadaan batin). Saripati edukasi dari Kinanti di atas adalah sebuah upaya merebut budaya pengendalian diri untuk membasmi korupsi.
Barangkali kita bisa meneladani track record para tokoh, seperti Ratu Shima (Kalingga) dikenal adil dalam perkara hukum. Yang bersalah, baik rakyat, punggawa, maupun putra sendiri, bila bersalah dihukum setimpal. Ratu Shima merelakan hukuman potong tangan putranya karena mencuri uang.
Kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dari mulai kebijakannya membangun Selokan Mataram untuk irigasi dan menghindari kerja paksa (romusha) masa penjajahan Jepang, bahkan saat ditilang polisi pun ia pun tak mau menyuapnya, dll.
Start Now
Sosok teladan lain, yakni Pangeran Diponegoro yang menampar Patih Yogyakarta saat itu, Danurejo IV, dengan selopnya. Amarah Diponegoro itu, dipicu karena Danurejo berlaku korup dan menyalahgunakan kewenangan sebagai Patih. Danurejo memutus suatu kasus berdasarkan upeti yang paling banyak diberikan oleh pihak yang berperkara.