Oleh : Habibah Dwi Prakoso
Salah satu perkembangan terakhir di dunia sains adalah semakin diterimanya pandangan bahwa alam telah dan sedang mengalami proses perubahan yang disebut sebagai evolusi. Alam semesta mengalami evolusi, dan makhluk hidup sebagai bagian dari alam juga mengalami evolusi. Berbagai teori di bidang sains yang dibangun di atas bukti-bukti, pengamatan, dan eksperimen semakin mengukuhkan pandangan adanya evolusi alam.
Namun, pemikiran evolusi telah menjadi sedemikian “berbahaya” pada abad ke-19 M sejak Darwin mengemukakan teori evolusi biologis, terutama manusia. Pemikiran evolusi Darwin dianggap mengganggu kredibilitas agama dan stabilitas sosial. Pro dan kontra mengemuka
Di dalam lini masa sejarah filsafat, Anaximandros ditempatkan pada posisi sebagai filsuf kedua setelah Thales. Anaximandros diyakini sebagai orang pertama, setidaknya di Barat, yang menghasilkan karya tulis “saintifik” di dalam bentuk prosa, meski hingga saat ini hanya satu fragmen pendek yang tersisa dari karya tulisnya. Keterangan tentang Anaximandros didasarkan pada tulisan Aristoteles dan para doxographer (Jeniarto, 2014).
ERA BARU PEMIKIRAN EVOLUSI
Dalam Jeniarto (2014) Revolusi Saintifik pada abad ke-17 – 18 menghadirkan cara pandang baru bagi manusia di dalam melihat alam dan kehidupan, serta menginspirasi era Aufklarung yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan sains alam yang berpuncak pada Newton. Pada tahun 1687 karya Newton tentang gravitasi diterbitkan, dan segera berdampak besar bagi kehidupan intelektual saat itu. Untuk pertama kalinya, satu aspek dari alam dapat dimodelkan secara akurat dengan peralatan matematika (Hawking & Mlodinow, 2010: 87). Perumusan matematis atas hukum alam itu sendiri telah dirintis oleh Pythagoras dan pengikutnya di Yunani sekitar 2200 tahun sebelum Newton.
Pemikiran-pemikiran evolusi biologis sebenarnya telah ada sebelum Darwin, namun tidak dianggap begitu penting. Misalnya pemikiran Lamarck. Keadaan berubah setelah Darwin mengutarakan common descent, bahwa segala makhluk hidup di bumi memiliki leluhur bersama, termasuk manusia. Seluruh kehidupan di bumi, menurut Darwin, mungkin dimulai dari awal yang tunggal. Darwin menyatakan, “… Sementara planet ini terus berputar sesuai dengan hukum gravitasi, dari awal yang begitu sederhana terus-menerus bentuk-bentuk yang paling indah dan paling menakjubkan telah dan sedang mengalami evolusi.” (Darwin, 2008: 360).
Teori yang dikemukakan oleh Darwin menghasilkan pro dan kontra. Akan tetapi teori yang dikemukakan oleh Darwin semakin diperkuat dengan adanya bukti biologis yang ditemukan seiring berjalannya waktu salah satunya ialah penemuan fosil-fosil yang menjadi bukti evolusi. Evolusi merupakan jembatan ilmu yang dimiliki oleh manusia untuk dapat memberikan pengertian dari suatu kejadian yang berlangsung lama.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Helmi (2017) Istilah “evolusi” pertama kali digunakan dalam konteks ilmiah modern oleh seorang geolog asal Skotlandia, Charles Lyell, pada tahun 1832. Charles Darwin kemudian mengadopsi kata ini dalam satu paragraf penutup bukunya yang berjudul “On The Origin of Species” pada tahun 1859. Popularitas kata “evolusi” kemudian meningkat setelah Herbert Spencer dan beberapa ahli biologi lainnya menggunakannya. Seorang filsuf Inggris bernama Herbert Spencer, dalam bukunya “Social Static,” menjadi orang pertama yang mendokumentasikan istilah evolusi. Menurut Spencer, konsep evolusi berkaitan erat dengan perkembangan ciri atau sifat dari waktu ke waktu melalui perubahan bertahap (Bertenz, 1975). Meskipun definisi yang diusulkan oleh Spencer menunjukkan suatu proses perubahan, tampaknya tidak terkait dengan bidang biologi. Seiring berjalannya waktu, istilah ini kemudian tenggelam seiring dengan perkembangan pemikiran filsafat oleh para ahli lainnya.
Evolusi pada zaman sekarang telah berkembang dari studi mengenai asal mula kehidupan manusia menjadi suatu konsep yang lebih luas, yang melibatkan perubahan tidak hanya pada asal-usul makhluk hidup tetapi juga dalam berbagai bidang ilmu lainnya. Meskipun banyak persetujuan terhadap evolusi sebagai perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan selama rentang waktu yang panjang, namun beberapa konsep awal yang diajukan oleh Darwin dalam karyanya “The Origin of Species” menimbulkan beberapa kontroversi. Salah satu poin yang menjadi pusat perdebatan adalah ide leluhur bersama, yang merujuk pada pandangan Darwin tentang asal-usul semua spesies yang ada di Bumi.
TEORI EVOLUSI
Menurut Taufik (2019) Evolusi adalah suatu proses perubahan pada spesies selama periode waktu tertentu, bertujuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan mewariskan perubahan tersebut kepada generasi berikutnya (Campbell, 2003). Konsep evolusi menjadi elemen penyatuan dalam bidang biologi karena mampu menjelaskan berbagai aspek biologi, terutama mengenai bagaimana organisme yang ada saat ini berkembang dari nenek moyang yang sama (ancestor) serta keragaman kehidupan yang luas di planet ini.
Didalam sumber yang sama menyatakan pendapat Charles Darwin, melalui karyanya “On The Origin of Species: by Means of Natural Selection,” menyajikan berbagai fakta empiris yang mendukung teorinya. Dalam bukunya, ia menampilkan kasus-kasus yang meyakinkan mengenai evolusi dan berhasil mengaitkan apa yang sebelumnya dianggap sebagai kumpulan fakta yang membingungkan dan tidak saling terkait menjadi suatu pandangan kohesif tentang kehidupan. Kelompok realis menunjukkan minat yang kuat terhadap teori ini karena realisme meyakini bahwa bukti empiris, seperti yang disajikan dalam teori evolusi Darwin, merupakan elemen kunci dalam mencari kebenaran.
Pada awalnya, sebagian besar peradaban masyarakat kuno tidak mampu menjelaskan dengan cara alami mengenai pola hukum yang mengatur fenomena alam. Sebagai gantinya, mereka menemukan jawaban melalui pendekatan agama, magi, dan mistis, dengan menceritakan kisah penciptaan dan kekuatan supranatural. Secara bertahap, hukum-hukum alam mulai ditemukan, membawa konsep determinisme saintifik, yaitu gagasan bahwa ada seperangkat hukum yang menentukan perkembangan alam dan perilaku alam. Hukum-hukum tersebut dianggap berlaku di segala tempat dan waktu.
Beberapa filosof Yunani awal mulai menerima ide evolusi secara bertahap, namun Plato (1427 – 347 SM) dan muridnya Aristoteles (384 – 322 SM), yang merupakan dua tokoh paling berpengaruh dalam budaya Barat, tetap mempertahankan pandangan yang tidak sejalan dengan konsep evolusi. Plato meyakini secara kuat pada dua dunia: dunia nyata yang ideal dan abadi, serta dunia khayal yang tidak sempurna yang kita persepsikan melalui panca indera. Dalam pandangan Plato, evolusi menjadi tidak relevan dalam suatu dunia di mana organisme ideal sudah sempurna beradaptasi dengan lingkungannya (Taufik, 2019).
Sementara itu, Aristoteles, percaya bahwa semua bentuk kehidupan dapat diurutkan dalam suatu skala, dengan tingkat kompleksitas yang semakin tinggi, yang kemudian dikenal sebagai skala alam. Menurutnya, setiap bentuk kehidupan memiliki tangga yang telah ditentukan, dan setiap anak tangga ini sudah diisi. Dalam pandangan Aristoteles ini, spesies bersifat tetap, sempurna, dan tidak mengalami perkembangan.
Seperti halnya hewan juga memiliki sejarah, yang mencakup asal-usul dan evolusi bertahap mereka hingga mencapai posisi saat ini. Namun, sejarah hewan ini terjadi tanpa pengetahuan atau keinginan dari pihak hewan itu sendiri. Sebaliknya, bagi manusia, semakin mereka melepaskan diri dari kondisi hewan, semakin bertambah kemampuan manusia secara sadar untuk menciptakan dan membentuk sejarah mereka sendiri.
Menurut Helmi (2017) Teori evolusi menyatakan bahwa semua bentuk kehidupan yang beragam di planet ini berasal dari nenek moyang yang sama. Teori ini mengindikasikan bahwa keragaman makhluk hidup muncul melalui variasi kecil dan bertahap selama periode waktu yang sangat panjang. Pada awalnya, menurut teori ini, makhluk hidup terbentuk sebagai organisme bersel tunggal. Selama ratusan juta tahun, organisme ini secara bertahap berevolusi menjadi ikan dan hewan invertebrata yang hidup di lingkungan laut. Dengan waktu, dugaan tersebut menyiratkan bahwa ikan kemudian beralih ke daratan dan mengalami transformasi menjadi reptil.
Tampaknya Charles Darwin terinspirasi oleh para ahli biologi evolusionis sebelumnya, terutama Lamarck, seorang ahli biologi Prancis, ketika dia membuat teorinya. Lamarck berpendapat bahwa evolusi terjadi ketika sifat-sifat yang dimiliki seseorang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Jeniarto (2014) Pandangan tradisional tentang konsep “sejarah” sering kali diidentifikasi dengan kehidupan manusia sejauh sejarah tertulis ditemukan. Sejarah dianggap dimulai pada saat manusia mulai mengenal tulisan. Namun, pandangan ini ditantang oleh Daniel Lord Smail, David Christian, dan Robert N. Bellah. Mereka menggagas pembahasan sejarah umat manusia yang melibatkan periode sebelum tulisan ditemukan, bahkan sejak munculnya organisme uniseluler dan peristiwa Big Bang. Mereka memandang sejarah sebagai rekam jejak lengkap yang berkaitan dengan kejadian di masa lalu. Evolusi makhluk hidup, sebagai sejarah biologi, dianggap sebagai bagian integral dari narasi yang terkait dengan manusia (Bellah, 2011: xi).
Namun, sebagian besar perubahan evolusioner tidak dapat diamati secara langsung oleh saksi mata. Proses evolusi sering terjadi terlalu lambat untuk dapat disaksikan oleh individu selama masa hidup mereka. Seseorang tidak mungkin hidup cukup lama untuk menyaksikan evolusi secara langsung dengan matanya sendiri. Oleh karena itu, pandangan bahwa evolusi merupakan fakta umumnya didasarkan pada penalaran saintifik. Kesimpulan saintifik dibuat untuk mencapai pandangan mengenai evolusi (Dawkins, 2009: 16).
Dalam konteks penggunaan istilah “Teori Evolusi”, Dawkins menyatakan bahwa konsep “teori” memiliki makna dan penggunaan yang berbeda antara para ilmuwan dan para kreasionis. Dawkins mengambil istilah “theorem” dari matematika dan mengubahnya menjadi “theorum.” Semua theorum ilmiah didukung oleh sejumlah besar bukti, diterima oleh semua pengamat yang memiliki pengetahuan, serta fakta-fakta yang tidak terbantah (Dawkins, 2009: 9-13).
Menurut Dawkins, kriteria untuk status saintifik suatu teori bukan hanya tentang verifikasi. Berdasarkan pandangan Popper, kriteria untuk status saintifik suatu teori mencakup kemampuan untuk menjalani falsifikasi (falsifiability), atau dapat disangkal (refutability), atau dapat diuji (testability) (Popper, 1989: 36-37). Dawkins menekankan bahwa sains, seperti yang diungkapkan oleh Dennett, tidak hanya berurusan dengan membuat kesalahan (proses falsifikasi), tetapi juga tentang membuat kesalahan di hadapan publik. Artinya, kesalahan tersebut dapat terlihat oleh semua orang dengan harapan bahwa orang lain dapat membantu mengoreksi kesalahan tersebut (Dennett, 1996: 380).
Evolusi merupakan suatu proses sejarah yang diperoleh melalui kesimpulan dari berbagai penelitian. Kesimpulan tersebut kemudian harus terus-menerus diuji melalui penelitian-penelitian baru, dan kesimpulan awal dapat ditolak atau diperkuat lebih lanjut dengan rangkaian ujian yang dilakukan (Mayr, 2010: 17). Hal yang sama berlaku untuk model dan rumusan matematis yang digunakan sebagai alat untuk mengambil kesimpulan tentang evolusi alam semesta.
Seiring dengan semakin diterimanya pemikiran evolusi, terutama di kalangan akademisi, fokus perdebatan pun berubah. Pertanyaan tidak lagi seputar apakah evolusi terjadi atau ada, melainkan lebih pada apakah ada makna dan tujuan di balik evolusi, dan adakah pencipta evolusi. Terdapat dua pemikiran utama terkait isu ini: pertama, bahwa makna telah ada sebelum evolusi; kedua, bahwa makna muncul setelah terjadinya evolusi. Dua asumsi dasar ini akan memberikan jawaban yang berbeda.
Konsep teleologisme dalam pemikiran evolusi, yang mengasumsikan bahwa evolusi menuju suatu bentuk kesempurnaan, menjadi problematis terkait kriteria-kriteria seperti “lebih tinggi,” “lebih maju,” atau “lebih sempurna.” Apakah kompleksitas yang lebih tinggi berarti lebih sempurna? Atau sebaliknya, apakah yang lebih sederhana dianggap lebih rendah?
Keberadaan makna sebelum peristiwa evolusi dan tujuan di dalam evolusi menimbulkan pertanyaan tentang keberadaan seorang perancang, pencipta, dan penjaga yang mengarahkan jalannya evolusi ke suatu tujuan tertentu. Singkatnya, ada kebutuhan akan suatu daya yang terpisah dari proses alam.
Namun, dalam ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani kuno di Ionia, fokusnya adalah memahami proses alam, bukan proses eksternal terhadap alam. Mereka mengakui bahwa proses alam diatur oleh hukum-hukum alam, bukan oleh hukum-hukum yang berasal dari luar alam. Pendekatan yang diambil oleh para filsuf Yunani kuno dan ilmuwan adalah merumuskan hukum-hukum alam yang dapat menjelaskan perilaku dan ketertiban dalam alam. Mereka mengabaikan penjelasan yang melibatkan kekuatan dari luar alam yang bertanggung jawab atas berbagai proses alam.
TEORI EVOLUSI DARWIN
Dalam Helmi (2017) Ketika Darwin memulai penelitiannya, Ia menyatakan bahwa semua makhluk hidup di Bumi berasal dari leluhur yang sama, yaitu makhluk hidup bersel satu. Pandangan ini menjadi kontroversial, dengan kelompok agamis dan sejumlah orang yang tidak sejalan mengemukakan berbagai argumen, baik yang bersifat ilmiah maupun non-ilmiah, untuk menolak pandangan tersebut. Beberapa menganggap teori Darwin sebagai suatu filsafat yang menyesatkan umat manusia.
Evolusi dan konsep-konsep terkaitnya mendapat kritik yang tajam karena dianggap sebagai ilmu yang tidak dapat memprediksi. Meskipun demikian, meskipun beberapa argumen yang diajukan telah dihadapi dan dievaluasi oleh beberapa pembaharu, tak dapat disangkal bahwa kontribusi besar Darwin terhadap pemahaman awal mengenai asal-usul kehidupan manusia telah membuka jalan bagi penemuan-penemuan baru, perkembangan ilmu baru, dan gagasan-gagasan baru di bidang sains dan kehidupan manusia di Bumi.
Secara umum, ringkasan dari tulisan Darwin yang kemudian menjadi terkenal mencakup dua poin utama: 1) Spesies yang ada saat ini merupakan hasil evolusi dari spesies yang ada sebelumnya, dan 2) Proses evolusi terjadi melalui mekanisme seleksi alam. Meskipun demikian, Darwin tidak menyebut atau mungkin tidak mengetahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan telah mengidentifikasi sebab-sebab evolusi yang lain, seperti genetic drift, mutasi, gen flow, perkawinan tidak acak, dan seleksi alam.
Darwin mengemukakan pandangan bahwa kesamaan leluhur menunjukkan bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama dengan hewan lain. Ia menyatakan bahwa semua makhluk hidup yang memiliki ciri homolog berasal dari leluhur yang sama, dan proses evolusi membuat mereka berbeda pada saat ini. Darwin mengklaim bahwa makhluk hidup berasal dari suatu awal tunggal, yang merupakan makhluk bersel satu yang terdiri dari asam amino dan air. Meskipun begitu, Darwin tidak pernah menulis tentang semua penyebab ini dalam karya-karya seperti “The Descent of Man,” “Selection in Relation to Sex,” “The Expression of the Emotions in Man and Animals,” dan karya-karya lainnya.
Dalam pendefinisian spesies dan spesiasi data “spesies” berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti “jenis” atau “penampakan.” Spesies merujuk pada unit populasi terbesar di mana pertukaran genetik dapat terjadi dan secara genetik terisolasi dari populasi lain. Sementara itu, spesiasi adalah proses pembentukan spesies baru.
Menurut Mayr, setiap organisme memiliki tiga karakteristik, yaitu: (1) kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan, (2) kemampuan untuk hidup bersama dengan spesies yang berbeda, dan (3) ketidakmampuan untuk melakukan perkawinan dengan spesies lainnya (Sugiri, 1988). Setelah publikasi “The Origin,” para ilmuwan melalui perjalanan yang penuh tantangan memberikan penjelasan dan pencerahan mengenai bagaimana proses ini terus berlanjut hingga membentuk kelompok makhluk hidup yang dikenal sebagai spesies.
Dalam pernyataannya tentang spesies dan variasi, Darwin menyatakan bahwa spesies dapat dianggap sebagai varietas, dan mungkin Darwin ingin menyiratkan bahwa spesies dan varietas memiliki perbedaan dalam tingkatannya. Darwin lebih lanjut berpendapat bahwa varietas merupakan spesies yang sedang mengalami proses menuju pembentukan. Pernyataan ini menimbulkan kebingungan dan bergantung pada interpretasi individu, apakah itu merupakan kebenaran atau hanya kebingungan yang menyesatkan. Sebabnya, variasi dalam spesies seharusnya dianggap sebagai perbedaan dalam spesies itu sendiri (Sugiri, 1988). Perbedaan antara spesies dan variasi dalam spesies sesungguhnya merupakan hal yang sangat berbeda. Pada kenyataannya, teori seleksi alam tidak semudah yang terlihat dalam pemikiran Darwin pada masa itu. Beberapa peneliti sering mengajukan argumen bahwa teori evolusi Darwin telah mengubah konsep kita tentang kedekatan kekerabatan antara manusia dan hewan, yang sebenarnya menurut Darwin sangat dekat.
Sumber lain yaitu Taufik (2019) menyatakan bahwa Teori dan pandangan Charles Darwin mengenai evolusi makhluk hidup dapat dipahami melalui kajian ontologis dan epistemologis. Pemikiran Darwin didasarkan pada pengamatan langsung yang ia lakukan, kemudian dianalisis, menghasilkan konsep adaptasi dan seleksi alam. Pendekatan yang digunakan oleh Darwin bersifat positivistik karena teorinya mengandalkan data empiris yang dapat diobservasi secara nyata dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
Aspek dinamis dalam ilmu pengetahuan tercermin dalam lahirnya teori evolusi makhluk hidup melalui metode ilmiah, menggambarkan sains sebagai suatu proses. Ini menghasilkan teori evolusi Darwin sebagai produk dari penyelidikan fenomena alam melalui pendekatan ilmiah. Sesuai dengan pernyataan Firman (2019), sains pada dasarnya merupakan suatu proses dan produk, dimana produk sains merupakan hasil dari proses ilmiah itu sendiri.
Teori evolusi Darwin telah menjadi dasar bagi teori evolusi modern, termasuk dalam konteks rekayasa genetika. Kemajuan teknologi saat ini memungkinkan para ilmuwan untuk melakukan rekayasa genetika, dan melalui proses ini, manusia berperan dalam mempercepat evolusi (Campbell, 2003). Organisme yang mengalami mutasi genetik melalui rekayasa genetika dikenal sebagai Organisme Modifikasi Genetik (GMO).
Sebelum adanya rekayasa genetika, manusia telah melakukan “rekayasa genetik” melalui praktik perkawinan silang. Proses perkawinan silang ini melibatkan manusia dalam menciptakan organisme dengan sifat yang diinginkan. Sebagai contoh, anjing merupakan hasil perkawinan silang antara ras serigala. Jelas bahwa teori evolusi telah diadopsi dengan baik oleh para ahli teknologi untuk mengarahkan upaya rekayasa genetika dalam mengendalikan materi genetik makhluk hidup sesuai dengan keinginan dan kebutuhan manusia.
Teori evolusi Darwin berperan penting dalam menjelaskan konsep evolusi yang terjadi di dunia saat ini, dan menjadi landasan bagi perkembangan berbagai disiplin ilmu melalui penarikan kesimpulan berdasarkan bukti empiris. Teori evolusi Darwin didukung oleh beragam bukti empiris dan diperkuat oleh teori-teori lain, mengukuhkan statusnya sebagai teori evolusi yang tetap diakui hingga saat ini. Menurut pandangan Darwin, kata “evolusi” lebih tepat untuk menggambarkan keragaman makhluk hidup daripada kata “revolusi,” karena teori tersebut menekankan hubungan antara generasi sebelumnya dan setelahnya melalui proses reproduksi. Evolusi makhluk hidup berlangsung terus-menerus sejalan dengan mekanisme seleksi alam.
Dalam konteks ini, perlu dilakukan kajian lebih mendalam terkait aksiologi teori Darwin. Secara fundamental, teori Darwin fokus pada proses seleksi alam dan adaptasi makhluk hidup, bukan pada perubahan morfologis manusia. Oleh karena itu, aspek aksiologi perlu diperdalam, terutama dalam konteks penggunaannya di tengah masyarakat yang memiliki kecenderungan agamis.
Dalam Jeniarto, (2014) Manusia menemukan adanya perubahan dalam alam, dan sebagai respons terhadap perubahan tersebut, mereka berusaha untuk memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena tersebut. Pemikiran evolusi merupakan suatu usaha pemahaman dan penjelasan terhadap fakta-fakta perubahan alam dalam konteks proses sejarah. Pemikiran evolusi muncul sejak zaman filsuf-filsuf awal di Yunani dan semakin diperkuat dengan penemuan dasar-dasar logika dan fakta empiris setelah terjadi revolusi saintifik pada abad ke-17. Dalam kerangka pemikiran evolusi, sains berusaha menjelaskan perubahan dan dinamika alam tanpa meninggalkan konteks alam itu sendiri.
Menurut Mayr, evolusi bukan hanya sekadar teori, konsep, atau gagasan dalam pikiran para saintis, melainkan merupakan suatu fakta yang terjadi di alam. Dengan kata lain, evolusi bukan hanya ada secara subyektif dalam pemikiran para ilmuwan, melainkan objektif sebagai suatu kenyataan yang benar-benar terjadi di alam.
PENENTANGAN TEORI EVOLUSI DARWIN
Pemikiran yang menolak evolusi terutama berasal dari kalangan agama. Ajaran agama, khususnya yang terdapat dalam kitab-kitab suci agama-agama Ibrahim, menyatakan bahwa manusia adalah hasil ciptaan Tuhan dan bukan produk dari proses perkembangan evolusi dari bentuk hewan lain. Agama secara umum mengajarkan prinsip Kreasionisme daripada Evolusionisme. Sebelum Darwin mengemukakan teori evolusinya, sudah ada sejumlah ilmuwan alam yang menolak gagasan evolusi, termasuk di antaranya ilmuwan yang tidak terpengaruh oleh motif agama, bahkan termasuk ilmuwan yang bersikap ateis (Young & Largent, 2007: 1-2). Dengan munculnya revolusi Darwinian pertama dan kemudian revolusi Darwinian kedua (Sintesis Evolusioner), pandangan mengenai evolusi biologis semakin diterima secara luas di kalangan ilmuwan (Jeniarto, 2014).
Dalam Helmi (2017) juga mendukung mengenai penentangan teori Darwin. Seorang naturalis asal Inggris, yaitu Wallace, yang juga mengembangkan teori seleksi alam (theory of natural selection) dengan pendekatan yang berbeda dari Darwin, menolak penerapan teori seleksi alam pada manusia. Wallace berpendapat bahwa manusia, dengan kecerdasan, kebudayaan, dan kemajuan yang dimilikinya, tidak dapat dijelaskan hanya sebagai hasil dari seleksi alam semata. Baginya, kemampuan Homo sapiens tidak hanya berasal dari seleksi alam, melainkan juga melibatkan campur tangan kekuatan supranatural yang membuat manusia modern begitu istimewa (Leakey, 2003).
Samuel Wilberforce, seorang pendeta yang hidup pada tahun 1805-1873 di Inggris, menjadi salah satu kritikus keras terhadap Darwin dan teorinya. Dia mengkritik “The Origin of Species,” terutama dalam hal teori seleksi alam. Wilberforce menentang gagasan bahwa manusia dan jenis kera lainnya memiliki nenek moyang yang sama. Kritik tajamnya terungkap dalam debat mengenai evolusi pada pertemuan British Association pada 30 Juni 1960. Samuel Wilberforce bahkan menyatakan bahwa dia lebih bersedia menerima bahwa dia adalah keturunan kera daripada harus menerima kebenaran dari ajaran evolusi.
Seorang ahli bernama Cuvier meyakini bahwa ciri-ciri anatomi yang membedakan kelompok hewan menunjukkan bahwa spesies tidak mengalami perubahan sejak awal penciptaan. Baginya, setiap spesies telah diciptakan secara sempurna, baik dari segi fungsi maupun struktur, sehingga tidak mungkin mengalami perubahan signifikan. Pandangan ini sejalan dengan keyakinan agama yang menyatakan bahwa spesies diciptakan dalam kelompok yang tetap, sesuai dengan ajaran Alkitab.
Di sisi lain, baik Lamarck maupun Geoffroy Saint-Hilaire mendukung ide bahwa semua hewan dapat disusun dalam suatu “rantai besar makhluk” dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Mereka meyakini bahwa, seiring berjalannya waktu, suatu spesies dapat mengalami evolusi bertahap menjadi spesies yang lebih tinggi. Lamarck mengusulkan bahwa perubahan ini terjadi melalui “penggunaan atau tidaknya berbagai anggota tubuh hewan.” Selain itu, ia juga berpendapat bahwa cikal-bakal hewan-hewan modern dapat ditemukan dalam dokumen fosil.
Dalam perdebatan antara Cuvier dan Lamarck, Cuvier menyatakan bahwa Lamarck tidak dapat membuktikan adanya transformasi spesies, sementara Cuvier dapat menunjukkan bukti dari artefak yang dibawa oleh tentara Napoleon dari Mesir. Cuvier menggunakan bukti ini untuk menegaskan bahwa hewan peliharaan tidak mengalami perubahan sejak zaman Mesir kuno, mendukung pandangannya bahwa spesies tidak mengalami evolusi. Cuvier juga menekankan bahwa lenyapnya beberapa jenis hewan disebabkan oleh kepunahan, bukan oleh perubahan menjadi spesies baru.
Cuvier secara tegas menyatakan bahwa dokumen fosil seharusnya menunjukkan jejak perubahan spesies jika evolusi benar terjadi. Namun, menurutnya, tidak ada bukti fosil yang menunjukkan bentuk peralihan antara fosil paleotherium dan spesies yang ada sekarang. Meskipun sudah banyak fosil yang ditemukan sejak zaman Cuvier, argumennya belum terbantah.
Selain perbedaan mengenai evolusi, Cuvier dan Lamarck juga berselisih pandang mengenai asal-usul kehidupan. Lamarck meyakini dalam pemunculan spontan, yaitu bahwa kehidupan dapat bermula dari benda mati. Namun, Cuvier menegaskan bahwa “kehidupan selalu berasal dari kehidupan,” menolak gagasan bahwa kehidupan dapat muncul dari non-kehidupan.
KESIMPULAN
Fakta dan pemikiran manusia tercermin dalam berbagai deskripsi dan teori yang telah dituliskan, memberikan inspirasi bagi generasi yang datang. Sebuah teori dianggap sebagai kebenaran ilmiah ketika dapat diuji melalui fakta eksperimen, sebagaimana tercermin dalam sejarah berbagai ahli dan ilmuwan. Sejak munculnya istilah evolusi, berbagai pandangan telah muncul dan berkembang hingga saat ini. Setiap argumen memiliki bukti-buktinya sendiri. Ilmu evolusi terus berkembang dan melalui berbagai fase, mungkin akan mencapai titik temu atau tetap menjadi sumber kontroversi.
Pertanyaan mendasar mengenai asal-usul manusia, apakah berasal dari satu sel tunggal atau diciptakan sepenuhnya sebagai bukti penciptaan Tuhan, tetap menjadi perdebatan. Pandangan seseorang tergantung pada perspektif dan pengetahuan yang dimilikinya. Namun, perlu diingat bahwa keyakinan kita haruslah didasarkan pada bukti ilmiah yang dapat membimbing kita menuju kebenaran suatu pernyataan.
Dalam memahami kaitan antara benar atau salahnya teori yang dikemukakan oleh Darwin perlu adanya pembuktian lebih lanjut agar dapat dipastikan, apakah teori tersebut dapat digunakan selanjutnya atau perlu perbaharuan kembali.
Sumber :
Helmi. (20017). EVOLUSI ANTAR SPECIES (LELUHUR SAMA DALAM PERSPEKTIF PARA PENENTANG). Titian Ilmu: Jurnal Ilmiah Multi Sciences, IX(2), 83 – 93. e-ISSN 2581-1452
Jeniarto, J. (2014, Agustus). GAGASAN EVOLUSI MAKHLUK HIDUP: SEBUAH TINJAUAN RINGKAS DAN REFLEKSI. Jurnal Filsafat, 24(2), 134-147.
Taufik, L. M. (2019). TEORI EVOLUSI DARWIN: DULU, KINI DAN NANTI. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(3), 98-102. E-ISSN 2620-7982
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sanata Dharma 2023