SETELAH saya analisis, semula yang saya anggap keajaiban itu ternyata teknik komunikasi. Beberapa kali saya amati dan sekaligus menyadap tekniknya. Misalnya, saat diskusi dengan dia yang mengaku sudah “makrifat” itu tiba-tiba dia memejamkan mata.
Sesaat kemudian berkata, “Wa alaikum salam… silakan masuk…” Saya lalu bertaya, ”Ada apa, Mbah?” Dijawab, ”Jin saya datang.” Sebenarnya cara seperti itu mudah ditebak. Dia ingin meyakinkan, dirinya itu bukan orang sembarangan.
Buktinya, lain hari ketika saya tagih (janjinya), untuk memprediksi calon kades lain, dia menghindar. Alasannya, candunya habis, harinya harus disesuaikan weton (hari kelahiran), dsb. Merasa saya uber, kalau saya datang lagi, yang jaga rumah mengatakan tuan rumah ke luar kota.
Lain kali, ada yang dikenal pintar itu ke rumah. Dia mengaku guru dari orang-orang penting. Saat kami sedang berbincang dia memejamkan mata dan kepalanya menunduk. Sesaat kemudian berkata lirih. “Wa alaikum salaam, ya ya…”
Sesaat kemudian dia membuka mata. Saya lalu bertanya. “Bagaimana, Mbah ilhamnya?” Dijawab, “Sebaik-baik manusia, yang bermanfaat bagi sesamanya kamu harus banyak mengajak orang lain untuk berbuat baik melalui keahlianmu,” sarannya.
Tanpa ditanya, dia berkata bahwa sebentar lagi keluarga saya akan melayat kematian. Ketika saya tanya siapa yang meninggal? Dijawab masih satu RT. Sepulang “orang pintar” itu, saya dan teman-teman bertanya-tanya, siapa warga satu RT yang sakit?
Baca juga Mendeteksi Calon Gagal atau Jadi – I
Kebetulan waktu itu ada manula sakit-sakitan. Wah, jangan-jangan tetangga timur rumah itu.” Setelah ditunggu empat bulan lebih, tidak ada tetangga meninggal. Kami mulai meragukannya. Dan herannya, ketika lain waktu ketemu lagi, masih meramal juga.
“Sepertinya akan ada tetangga gantung diri,” katanya. Saat saya tanya siapa orangnya? Dijawab, ”Jaraknya tidak jauh. Rumahnya tidak jauh dari yang jualan bensin eceran.”
Lagi-lagi,yang diucapkan tidak terbukti. Dan ketika ketemu saya lagi, masih juga berani menerawang akan ada tetangga saya gantung diri. Dan lagi-lagi ramalannya tidak terbukti.
Tetangga saya yang ikut jagong saat tamu itu datang, ikut komentar. Harusnya yang diramal itu jangan orang mau gantung diri, karena zaman sekarang kejadian itu langka. Kalau dia meramal akan ada anak-anak kepleset olie, itu sering terjadi dekat tikungan jalan raya dekat rumah saya.
Dua kisah itu tidak bermaksud membuka aib orang lain. Ini kisah saya paparkan untuk diketahui karena banyak orang yang karena dorongan nafsunya sehingga berani mengumbar kebohongan agar dia dianggap orang pintar, tembus pandang, sudah makrifat.
Tentang berani berspekulasi dan pintar akting itu sering menghinggapi orang yang tidak tahan dorongan nafsunya, hingga sifat takabur, ujub, riya, melilit jiwanya. Saya pernah bertanya pada orang yang saya anggap memiliki ilmu tembus pandang.
Mengenai ketajaman indera batin itu, benarkah membuat semakin tajam atau makin tumpul jika dimanfaatkan setiap saat? Dijawabnya, semakin tajam yang berarti pandangan mata batinnya tidak pernah meleset. Menurutnya, semakin sering digunakan semakin bagus, karena melihat dengan mata batin itu dibutuhkan latihan rutin,” jawabnya meyakinkan.
Saya menyimpulkan, seorang yang merasa memiliki indera batin yang tidak lagi mampu mengendalikan lidahnya, dan ketika dia meramal dan ternyata salah, dan dia tidak menyadarinya, karena yang mengetahui yang diucapkan itu tepat atau meleset adalah orang lain yang diradar.
Sudah menjadi tradisi kita, kalau untuk mengingatkan orang lain karena kesalahannya, kita ini sering diliputi rasa rikuh. Jadi, kalau misalnya Anda datang ke orang pintar, dan yang “meradar” itu meleset, tamu pilih diam dan tidak menyalahkan tuan rumah.
Sebaliknya, jika ramalannya benar, tamu berkata, ya, ya… membenarkan apa yang diucapkan. Dan yang seperti ini yang menyebabkan para peramal semakin GR (gede rasa) sehingga semakin mengumbar ramalannya. Gejala ini didukung tradisi kita yang rikuh langsung menegur orang salah.
Saya beberapa kali ketemu orang yang (sok) tahu masa yang akan datang dan yang gaib (metafisik). Kalau saya diramal, saya lebih banyak mengangguk. Rasanya tidak tega berkata tidak. Ada perasaan enggan, rikuh.
Sebagai tamu perlu menghormati tuan rumah. Apalagi jika tamu itu diterima baik, sudah selayaknya membalas kebaikan tuan rumah. Maka, ramalannya salah, tetap saja mengangguk.
Masruri, penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak, Pati