Untuk Pelajaran Pilpres
Lolosnya nama Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo Subiyanto dari koalisi Indonesia Maju sontak menimbulkan diskusi masyarakat luas. Resonansi diskusi begitu kerasnya, hingga putusan MK yang menjadi pintu gerbang lolosnya membawa korban nama baik Ketua MK, Anwar Usman. Answar diputus bersalah melakukan pelanggaran etik berat oleh Ketua Majelis Kehormatan MK, dan satire tajam deras mengarah ke istana.
Banyak yang bersorak riang dan mendukung putusan Jimmly (Ketua MKMK) namun ada pula yang mempersoalkan. Anwar Usman sendiri melakukan perlawanan karena merasa putusan atasnya murni karena pertimbangan hukum.
Sebagian publik menganggap Gibran sebagai sosok muda bak Jabang Tetuko yang siap merebut dominasi generasi lebih tua, namun sebagian yang lain kontra atasnya. Gibran tak lebih dari peran sebagai kepanjangan libido sang ayah Presiden Joko Widodo. Publik sama sekali tidak melihat jiwa dan semangat Tetuko pada diri Gibran. Lebih jauh publik justru menarik Jokowi sebagai tertuduh yang membelokkan diksi gege dalam banyu gege menjadi gege mongso.
Bagi penulis, sengketa pendapat tersebut masih kondusif dalam kontek merebut pemilih. Baik kubu pro Gibran maupun kontra Gibran masih menampilkan perilaku elegan, terbukti hingga dua bulan menjelang hari H pemilihan, kondusifitas tanah air masih terpelihara.
Terlepas dari upaya masing-masing kubu dalam memperebutkan label benar, public justru membutuhkan konsumsi debat. Konsumsi tersebut lebih mengenyangkan mereka akan referensi pilihan, bekal mereka masuk ke dalam bilik suara.
Untuk itu selain KPU, kampus-kampus harus tergerak untuk mengundang tiga kontestan. Anis, Ganjar, serta Prabowo harus memanfatkan blabar kawat yang digelar untuk berdebat. Mereka tak boleh ada yang mangkir untuk membuktikan siapa diantara mereka yang memiliki mental Tetuko yang bermandikan banyu gege, dan siapa yang sebenarnya merupakan produk dari gege mongso.
Hartono Sri Danan Djoyo, Gerakan Jalan Lurus dan Praktisi Genetik