Oleh Retno Manuhoro S.
BERKUAH bening, dan segar. Bentuk dasarnya sebenarnya adalah sup, berisi irisan hati ampela ayam, dadar gulung, sosis solo, mihun, telur rebus manis yang berwarna coklat kehitam-hitaman, serta suwiran daging ayam.
Sajian kuliner khas kota Solo ini disebut dengan Timlo Solo. Disajikan dengan nasi putih terpisah. Komposisinya agak berbeda dengan sup karena dalam semangkuk Timlo Solo tidak disertakan sayuran sedikit pun. Di Solo, warung Timlo Solo legendaris itu ada di sudut timur Pasar Gede. Namanya Timlo Sastro, lebih dikenal dengan nama Timlo Balong karena lokasinya berada di sekitar Kampung Balong.
Mangkal berupa warung tenda sejak 1952, kini Timlo Sastro dikelola oleh generasi penerusnya dengan jam buka mulai pukul 06.30 hingga 15.30 WIB. Pagi hari warung selalu dipenuhi pembeli hingga menjelang makan siang. Pada jam-jam seperti itu, pembeli bahkan harus antre. Paket komplit nasi Timlo dihargai Rp 18.000 per porsi, namun juga tersedia paket hemat dengan harga Rp 10.000. Tentu saja dengan isi yang berbeda.
“Habis nggak habis tutupnya ya jam 15.30 itu. Tapi biasanya pas jamnya pasti habis. Kalau malam, pelanggan datang ke cabang Timlo Sastro di wilayah Penumping,” kata Ani Sriharyani, salah satu anak Sastro.
Menyantap Timlo, sebenarnya tidak sekedar menikmati rasa di indera pengecap kita. Dalam semangkuk Timlo menyimpan rekaman jejak sejarah akulturasi. Heri Priyatmoko dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Peneliti sejarah kuliner Solo menyatakan, Timlo menjadi salah satu “saksi” dari sebuah proses panjang akulturasi Tionghoa Solo, mengingat pada masa lalu peranakan Tionghoa di Solo bukanlah masyarakat yang homogen.
Ada yang berkiblat Belanda, ada pula yang mempertahankan budaya leluhur Tiongkok, namun juga ada yang total meleburkan diri bersama budaya lokal. Mereka yang berkiblat pada Belanda, mendapatkan hak monopoli perdagangan dan mendapatkan perlawanan dari Sarekat Dagang Islam. Kecurigaan menumpuk pada komunitas Tionghoa yang bersimpati kepada penjajah ketimbang pemerintah Republik Indonesia. Akibatnya, keberadaan mereka di Solo diawasi sedemikian ketat.
“ Saya membaca sebundel dokumen tentang daftar orang keturunan Tionghoa di Kota Solo pada 1947, yang dikeluarkan Kantor Karesidenan Surakarta dan diserahkan kepada Kementerian Dalam Negeri, dimana dokumen setebal 100 halaman lebih itu memantulkan pandangan pemerintah yang menempatkan kelompok Tionghoa sebagai liyan dan dianggap seperti “hantu” yang perlu diawasi,” terang Heri lebih lanjut.
Pada 1947 jumlah seluruh orang Tionghoa yang bermukim di Solo 4.899 jiwa , dengan perincian warga Tionghoa yang mendiami Kelurahan Keprabon 320 jiwa, Ketelan 187 jiwa, Manahan 87 jiwa, Mangkubumen 272 jiwa, Setabelan 538 jiwa, Kestalan 641 jiwa, Timuran, 377 jiwa, Gilingan 621 jiwa, Kratonan 482 jiwa, Kemlayan 529 jiwa, dan Gajahan 825 jiwa.
Menilik lembaran sejarah lokal, pandangan atau stigma itu telah mengakar lama akibat timbunan kenangan pahit benturan antara etnis Jawa dengan Tionghoa yang pecah beberapa kali. Lebih lanjut Heri mengatakan, apabila mengaitkan dengan ruang dapur, warga etnis Tionghoa sesungguhnya bukan liyan. Mereka justru turut memeriahkan meja makan nusantara.