
Heri dengan tegas mengatakan bahwa Timlo Solo menjadi akulturasi terbaik di jagat kuliner Solo, karena kelahirannya terinspirasi dari Kimlo dan selama ini orang mudah tergelincir menganggap kimlo adalah timlo.
Kimlo merupakan nama jenis hidangan berkuah yang berasal dari Tiongkok. Masakan tersebut di area Jawa Timur dan Jawa Tengah berkembang menjadi sup dan beredar di kawasan pecinan.
Heri menemukan fakta berharga ini di buku resep masakan Poetri Dapoer (1941) yang disusun perempuan Tionghoa.
Di buku itu juga disediakan panduan cara memasak kimlo memakai wajan. Bahan-bahan dan cara memasak khas perempuan Tionghoa inilah yang kemudian sedikit banyak diadopsi oleh penduduk beretnis Jawa. Semua terjadi karena kontak budaya hingga memantik kreatifitas wong Solo.
Ia lantas menggambarkan bagaimana warga asli Solo etnis Jawa yang bereksperimen di dapur, mencoba memasak makanan baru bernama “Timlo”. Soal penamaan, mereka tak ambil pusing, hanya mengganti huruf “k” dengan huruf “t”.
Bukan daging babi yang dipakai, melainkan telur dan jeroan ayam yang populer sebagai bahan utama orang Jawa kala memasak. Diberi pula sosis agar makin nikmat. Terjaringlah konsumen yang lebih luas dan warga beragama Islam juga bisa menyantapnya.
Siapa kira kuliner hasil kreasi ini ternyata sanggup bertahan, bahkan mampu melewati gempuran rezim masa lalu yang terkenal represif terhadap budaya Tionghoa di Indonesia.
Diuji oleh waktu dan lidah banyak orang, timlo melejit menjadi hidangan khas serta digandrungi pelancong.
“Kita tak boleh menutupi realitas sejarah ini bahwa Timlo dilahirkan dalam pengaruh ekologi budaya masyarakat pecinan,” sambungnya.
Maklum bila makanan ini gampang dijumpai di kawasan Pasar Gede yang dikitari oleh pemukiman Tionghoa, bukan di lingkungan keraton yang merupakan lembaga pemberi stempel makanan enak versi Jawa. Gabungan kuliner Tionghoa – Jawa menjadi fusion food baru, berkembang luas dan menjadi khazanah kuliner Nusantara yang tidak ditemui di Tiongkok.
Retno Manuhoro, Dosen Ilkom USM penyuka jajanan tempo dulu