Ilustrasi. Reka: wied

JC Tukiman Tarunasayoga

MEMANG wis tekan titimangsane, sudah sampailah waktunya, siapa saja saat ini omongannya jebul mung lamis.

Mereka yang mengaku trah Pandawa, lamis, sama saja dengan yang disebut-sebut Ngastina. Janaka lamis, Kresna ya lamis, Puntadewa padha wae. Apalagi Dursasana  lamise pol, Durna memang wis gaweyane, memang sudah hobinya.

Dari Jurang grawah sampai Citraksi-Citraksa, kabeh lamis. Petruk, Togog, Semar, Bilung ya ketularan lamis. Semuanya serba “manis di bibir,” kabeh jebule lamis, tidak ada pilihannya lagi.

Tokoh partai bisa lamis, petugas partai pun lamis; Menteri tidak kurang yang mung lamis wae, barangkali sama lamis-nya dengan para kader yang sedang gegap-gempita nyaleg.

Sekali lagi, wis tekan wayahe, kabeh jebule mug lamis, sedang sampai zamannya semua pihak (terpaksa?) harus bermulut manis.

Lidah tak bertulang

Berbicara tentang lidah, ternyata erat kaitannya dengan berbicara tentang lambe, bibir. Dari bibirlah muncul yang serba lamis tadi. Ketika orang sedang berbicara, yang bergerak-gerak lambene, bibirnya, namun hal itu terjadi karena lidahnya juga bergerak-gerak elastis berhubung tidak bertulang.

Hasil dari semua gerakan itu adalah omongan, kata-kata, dan karena sifat elastisnya lidah tadi, maka sangat mungkin omongannya sangat manissssssss, baikkkkkkkk, merduuuuu, nyaringgggg, dan sebagainya; eee……. ternyata semua yang manis, baik, merdu, nyaring tadi mung lamis.

Ada empat arti lambe, -bacalah seperti Anda mengucapkan makan tape, sate, atau tempe- , yakni pertama pinggirane cangkem, itulah bibir. Karena itu ada yang sering berkata lambene dower, karena memang bibirnya tebal dan agak terbuka lagi.

Kedua, lambe juga bermakna pinggirane cangkir, gelas, piring, dsb, bibir gelas; ketiga berarti bambing, bagian pinggir dari sebuah perahu atau juga sumur, jurang, atau lobang.

Dan makna keempat dari lambe adalah tetembungan, kata-kata, ungkapan. Maka, kalau omongan seseorang ngelantur, komentar orang lain atau teman,  bergumam: “Lambemu ………..”

Dari lambe inilah banyak orang terjangkit ngrumpi, dan apa yang biasanya menjadi bahan ngrumpi semua orang tahu, yakni (a) cacat cela atau kekurangan orang lain, (b) situasi terkini, dan (c) kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.

Seluruh alur seperti ini menggambarkan betapa banyak orang senang menempuh yang disebut kanggo abang-abang lambe, bibirnya diberi gincu biar kelihatan merah (manisssss, kan???) karena memang semuanya itu sebetulnya mung kanggo lelamisan.

Lamis

Janaka lamis, Puntadewa lamis, punakawan lamis, raksasa Belgedhubel Beh juga lamis; anggota DPR bisa lamis, Menteri juga bisa, presiden pun bisa juga lamis, dst……….dst. Mengapa semua orang bisa lamis? Jawabannya, karena siapa saja selalu dapat berkata-kata manis, baik, nyaring, merdu, tampak bijaksana, penyabar, dst…….dst  tetapi semua itu dapat disebut lamis kalau hanya berhenti di kata-kata, sekedar pada tata lahir, sementara apa yang ada dalam hatinya tidak sesuai dengan yang dikatakan itu.

Itulah lamis, tembunge apik, sopan, nanging atine ala. Dengan kata lain, mung ing lahir, ora tekan ing ati/batin. “Aku cinta padamu, dik”, Eee……tetapi jebul ngapusi, PHP belaka. Ada lagi ungkapan tokoh: “Memang wajahku wajah orang tidak jujur, ya?” Eeeeee…….jebule memang hanya kata-kata lamis belaka, selamis orang yang suka mengatakan “Demi ……….” padahal ternyata betul-betul hanya kata-kata manis saja. Pemanis bibir, gincu politik.

Tiba saatnya kini banyak orang, -sayangnya orang-orang itu adalah tokoh- , bersikap serba lelamisan, sarwa lamis, dan masyarakat khalayak ramai hanya benar-benar terjebak menjadi ramai atas tindak lelamisan, manis di bibir tadi. Para tua-tua lamis, para muda pun banyak belajar dari sana, maka akan tiba saatnya nanti orang muda lamis pun akan semakin banyak.

Njur, piye?

Mengalami kondisi serba lamis seperti ini, apa yang masih dapat dilakukan oleh masyarakat agar  situasinya tidak semakin mengacaukan relasi sosial kehidupan? Salahsatunya berupa seruan moral.

Misalnya seperti ini:  “Wahai ……….pimpinanku, wahai …….. tokoh-tokohku; wahai ……… idolaku, wahai ……….jebule musuhku…………..dan wahai …………. siapa pun: Masihkah belum puas dikau berlaku lamis? Masih akan berlanjut dengan lamis-lamis apa lagi? Bukankah sebaiknya Anda para lamis segera waras kembali?”

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University