Ilustrasi. Foto: Reka SB.ID

JC Tukiman Taruna Sayoga

Begitulah juntrungnya: akar segala ingar-bingar politik praktis saat ini ialah
pada satu kata kunci ini, suwala.
Pertanyaannya memang: sapa sing suwala kuwi?

PENDAFTARAN capres-cawapres pada 19 Oktober – 25 Oktober 2023,  berikut pengesahannya nanti,  sangat berkaitan langsung dengan akan semakin maraknya polarisasi perilaku politik baik dalam tubuh partai politik (parpol), politisi, maupun warga masyarakat.

Realitas sosial seperti ini menguatkan apa yang pernah dikatakan oleh Vilfredo Pareto (lihat K.J Veeger, 1993) bahwa perilaku manusia itu pada umumnya bersifat mekanis atau automatis belaka. Mengapa? Perbuatan dan perilaku manusia itu umumnya bersifat logis dan/atau  sebaliknya bersifat nonlogis. Perilaku disebut logis manakala direncanakan oleh akal budi dengan berpedoman pada tujuan yang hendak dicapai dan bersesuaian dengan kenyataan untuk mencapainya.

Ironisnya, menurut Pareto, hampir seluruh kehidupan masyarakat (berikut perilakunya) terdiri dari perbuatan-perbuatan nonlogis, karena nyaris tidak selalu berpedoman secara rasional pada tujuan,  sehingga tidak ada jaminan bahwa tujuan akan tercapai, bahkan sering tujuan terlupakan di tengah perjalanan.

Mengapa perbuatan nonlogis lebih dominan terjadi? Pareto menjawab, sebagian besar keputusan penting dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan sentimen-sentimen tertentu yang saat itu memang sedang terjadi,  berpengaruh, atau mendesak. Tentulah keputusan politik saat ini dapat menjadi salah satu contoh sangat jelas atas perilaku nonlogis ini.

Suwala

Keputusan politik yang sedang hangat saat ini,  yakni terkait dengan munculnya nama-nama pasangan capres-cawapres, otomatis  membawa serta polarisasi perilaku politik,  baik yang terjadi dalam tubuh parpol, politisi, maupun warga masyarakat  menuju hari penting  pada Rabu, 14 Februari 2024 nanti.

Ada banyak perbuatan atau keputusan nonlogis terjadi dan pasti masih akan terjadi terus, baik di dalam tubuh masing-masing parpol berikut saling sikut-menyikutnya di dalam koalisinya; antarpara politisi dalam sesama parpol/koalisi atau dengan parpol/koalisi “lawan;” serta jangan abai terhadap perbuatan dan keputusan nonlogis pada warga masyarakat.

Baca juga Dadi Slilit, Ya Dadi Klilip

Pemicu utama terjadinya polarisasi perilaku politik nonlogis ini adalah karena realitas budaya suwala. Kosakata Jawa suwala ini memang harus ditulis dengan dua vokal a padahal membacanya atau pengucapannya mirip seperti kalau Anda mengatakan Suroboyo sementara tulisannya Surabaya. Itulah suwala, biang kerok dari hiruk pikuk polarisasi perilaku politik nonlogis yang mungkin (semoga saja tidak) akan berkepanjangan nantinya.

Ada tiga makna suwala, yakni pertama ora miturut, menunjukkan sikap tidak taat; kedua, nglawan, suka melawan; dan ketiga suwala berarti kerengan, suka bertengkar dan/atau berkelahi.  Atas dasar pendaftaran nama-nama capres-cawapres saat ini, berikut nama-nama dan komposisi tim pemenangannya; masyarakat sangat dapat melihat dan merasakan koalisi mana, parpol apa, dan siapa saja politisi atau kader yang telah suwala itu.

Mereka itulah yang nantinya harus dipilih oleh warga masyarakat, dan karena itu sangatlah wajar kalau saat sekarang ini pun warga masyarakat juga sedang terjangkit suwala. Kompletlah contoh dari para pihak yang menunjukkan sikap tidak taat/loyal, suka melawan, atau pun bahkan mungkin suka bertengkar, suwala.

Mengapa?

Apakah suwala itu jahat dan identik dengan pengkhianatan?  Pasti tidak separah itu karena lebih menyerupai pembangkangan halus; namun barulah berbahaya manakala perilaku politik para elit politisi  ditandai oleh sejumlah orang yang suka tidak taat, melawan, atau pun bertengkar, lalu diperparah oleh sikap dan perilaku nekat nggugu karepe dhewe, bertindak/berkeputusan semau gue, itu berarti emoh kalah.

Tegasnya, suwala berbahaya bila disertai sikap ngeyel. Sementara itu, harus diingat, para elit politisi ini kelak (bila berkuasa) akan selalu berkewajiban untuk membuat berbagai kebijakan dan keputusan yang pasti bukan keputusan mung nggugu karepe dhewe.

Beberapa pertanyaan mendasar atas realitas budaya suwala ini, ialah: Mengapa ada sejumlah elit politisi suwala? Mereka itu suwala terhadap apa dan/atau siapa? Apakah tujuan suwala hanya karena semata-mata ingin mengejar kekuasaan, ataukah ada pendorong lain atau kalkulasi politik  yang lebih substansial? Mengapa perilaku suwala justru dilakukan “di saat-saat terakhir?”

Catatan penutup

Di atas telah disebutkan  betapa polarisasi perilaku politik,  dapat juga melanda warga masyarakat lebih-lebih warga masyarakat yang sangat mudah terpengaruh oleh/karena figur dari pasangan-pasangan itu. Sampai kapan polarisasi perilaku politik pada warga masyarakat akan berlangsung?

Tidak mudah menjawab ini, namun menurut Pareto tidaklah akan terlalu lama, karena  pada dasarnya masyarakat itu bersifat konservatif. Kalau pun suatu saat terjangkit polarisasi, tidaklah terlalu lama sifat konservatifnya akan pulih kembali.

Disebutkan oleh Pareto “masyarakat itu dikodratkan untuk selalu menegakkan keadaan seimbang,” yaitu bila terjadi pergolakan dalam masyarakat, itu hanya untuk sementara dan merupakan masa peralihan, di mana masyarakat beralih dari keadaan seimbang yang satu kepada keadaan seimbang yang lain; dan inilah yang disebutnya dynamic equilibrium.

Masyarakat memiliki yang disebut unsur sosio-pikologis yang menggerakkan mesin masyarakat menghasilkan perilaku nonlogis namun itulah dapat menjadi “karburator masyarakat,” yang akan sertamerta membuang apa saja sehingga kehidupan bersama menjadi lebih bersih lagi.

Jika di dalam masyarakat warga ada mekanisme dynamic equilibrium seperti itu, muncul pertanyaan apakah di dalam tubuh partai politik berikut para politisinya juga ada?

Misalnya ada pun, pemulihan atas polarisasi perilaku politik akan berjalan lamban (sekali) mengingat pemenang akan berlari kencang segera beraksi meninggalkan yang tidak menang; sementara yang kalah (padahal jumlahnya pasti lebih banyak) masih terngiang oleh pekik-pekik ingin menangnya.

JS Tukiman Taruna Sayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University