blank
Ilustrasi. Reka: wied

Oleh  Gunawan Witjaksanablank

SEJUMLAH kalangan mempersepsikan bahwa netralitas dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sangatlah mudah diucapkan, namun sangatlah sulit dipraktikkan.

Presiden Joko Widodo yang dalam pengarahannya pada para pejabat kepala daerah menyampaikan bahwa setiap kepala daerah beserta aparatnya harus netral dan tidak boleh memihak pada pasangan calon( Paslon) atau pun partai politik( Parpol) tertentu, ternyata yang disampaikannya itu disikapi dengan berbagai macam sikap dan tindakan.

Di antaranya adalah viralnya seorang wakil menteri yang memberi arahan pada aparatnya untuk mendukung paslon tertentu. Wakil menteri tersebut tampaknya lupa pada arahan Presiden, sekaligus lupa bila tidak semua staf mendukung paslon tertentu, sehingga akhirnya acara tersebut tersebar luas karena kecanggihan teknologi informasi dan menjadi viral.

Di sisi lain pencopotan baliho paslon tertentu dan bendera parpolnya di Bali dengan dalih netralitas saat Presiden berkunjung, tak urung menuai protes sejumlah pihak. Terlebih tatkala ada atribut parpol lain di wilayah yang sama tidak turut dicopot.

Pihak yang memprotes justru berpandangan keperpihakan pemda dan aparatnya, dan persepsi semacam itu sah-sah saja.

Contoh lainnya yang ada di wilayah Sumatra Barat (Sumbar) yang terkesan justru gambar paslon tertentu dibiarkan bertebaran, justru ketika Presiden melakukan kunjungan kerja ke wilayah tersebut.

Masih banyak lagi kasus serupa, yang pada akhirnya membuat sejumlah kalangan menganggap netralitas itu hanya sebuah utopia belaka, dan sesuai dengan Teori Penyalahan Individu (Individual Blame Theory), mereka lalu menyalahkan Presiden yang mereka anggap tidak netral karena salah satu putranya ikut kontestasi sebagai salah satu Paslon.

Pandangan itu tentu tidak bisa disalahkan, karena secara kasat mata seolah memang tampak demikian.

Salah satu teori psikologi yang menyebut bahwa perilaku adalah fungsi dari sikap memperkuat pandangan mereka yang beranggapan Presiden tidak netral.

Karena itu, alangkah baiknya bila kita saling merenung dan bertanya dalam hati, benarkah bahwa netralitas dalam Pemilu 2024 itu hanya sebuah utopi?

Apa yang sebaiknya dilakukan semua pihak, utamanya para elit, agar netralitas benar -benar dapat saling dijaga, agar parisipasi politik masyarakat yang sudah mulai tumbuh dan berkembang, tidak meredup kembali?

Teladan

Salah satu hal bagus yang dicontohkan Menkopolhukam, yang setelah resmi  dicalonkan sebagai cawapres, langsung mengumpulkan seluruh stafnya, untuk tidak terlibat dukung mendukung dan bekerja sesuai tupoksinya.

Apa yang disampaikan Menkopolhukam tersebut sekaligus ditunjukkannya, tatkala sedang dalam kegiatan yang terkait dengan kontestasi, sehingga hingga saat ini setidaknya belum ada komplain terkait dengannya.

Yang disampaikannya terkait Presiden Jokowi pun sangat bijak, dengan mengatakan Presiden boleh mendukung salah satu paslon, asal tidak menggunakan fasilitas negara.

Namun, meski pernyataan Menkopolhukam tadi sangat bijak, namun masyarakat tetap akan sulit mencerna dan membedakannya dalam praktik.

Karena itu, alangkah baiknya bila hingga sampai saat pecoblosan hingga penentuan pemenang kelak, kegiatan Presiden yang bisa didelegasikan ke pembantu dan staf lainnya  didelegasikan dahulu, sehingga setidaknya Presiden agak bisa menjaga jarak, baik dengan paslon atau pun parpol seluruhnya, seperti yang pernah disampaikannya bawa Presiden mendukung semuanya, agar terselenggara Pemilu damai dan menghindarkan benturan.

Sejahtera

Sebenarnya bila semuanya menginginkan Pemilu damai dan menggembirakan demi kemajuan bangsa dan sekaligus menyejahterakan rakyat, maka model komunikasi toxic perlu saling dihindarkan.

Selain menyesatkan dan kontraproduktif, hal semacam itu mudah sekali memicu kegaduhan, bahkan mungkin benturan.

Menggunakan model komunikasi persuasif dan empatik melalui berbagai media, sangatlah diharapkan.

Media yang mempunyai kekuatan mulai dengan melipatgandakan pengetahuan, hingga komunikasi pararasional, akan sangat bagus dampaknya bila digunakan secara positif, sebaliknya akan memicu opini sesat dan negatif, bila disalahgunakan.

Akhirnya, kita semua berharap netralitas dalam Pemilu sebaiknya saling dijaga, sehingga pesta demokrasi lima tahunan itu akan menjadi kegiatan menggembirakan, dan akhirnya akan benar-benar terpilih pemimpin terbaik yang akan mampu membawa Indonesia ke arah yang dicita-citakan bersama.

Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi USM