JC Tukiman Tarunasayoga
HAQUL yakin saya, begitu Anda membaca judul clingkrik ini, pasti dalam hati “memberontak” seraya bergumam: “Kurang greng-gayeng yen ora ditambahi mak.” Kurang seru deh kalau hanya clingkrik karena kenyataannya mak clingkrik.
Dalam bahasa tutur Jawa sehari-hari, -biasanya berupa pocapan– , ada kata mak (bandingkan dengan kata sok dalam percakapan sehari-hari kita), yang bernada menyangatkan karena memang mak itu berarti mratelakake tumindak utawa kahanan kang dadakan apadene sanalika.
Maksudnya, bila seseorang mengatakan mak tratap atiku, itu maknanya ialah tiba-tiba merasa terkejut, detak jantungnya mengencang karena kaget berhubung tiba-tiba mendengar suara ledakan, misalnya.
Ungkapannya tidak cukup hanya tratap, melainkan harus mak tratap, seperti halnya “pemberontakan” Anda terhadap clingkrik padahal tepatnya/seharusnya mak clingkrik.
Apa kuwi?
Clingkrik itu menggambarkan sebutlah contohnya seekor burung yang tiba-tiba mencok (ada yang menyebutkan menclok) di suatu dahan pohon ace di depan rumah lalu mengoceh cuet….. cuet…….. cuet…….
Datangnya tiba-tiba karena sekian detik lalu belum ada, dan lebih surprise lagi (baca: mengagetkan) karena tiba-tiba lalu cuet…. cuet….. cuet. Nah……itulah contoh konkret mak clingkrik itu.
Tegasnya, mak clingkrik itu artinya munggah cepet banget, munggah rerikatan, naiknya seseorang (tentu ke level yang lebih tinggi) secara cepat, sebutlah secepat kilat lha wong wingi durung apa-apa, namun sekarang sudah mak clingkrik dadi ratu misalnya.
Baca juga Dadi Slilit, Ya Dadi Klilip
Ini persis lakon Petruk dadi Ratu seperti dalam pewayangan. Mengapa? Hanya dalam tempo setengah malam saja, dalang Ki Kripto Carito dapat menyegerakan Petruk dadi ratu. Mengherankankah? Tidak heran, dan sebaiknya aja gumun(an), karena yang namanya dalang, dialah yang (malam itu) menguasai sekotak wayang.
Mak clingkrik yang terjadi pada seseorang atau banyak orang, bukan hanya terjadi di dunia pewayangan saja karena kenyataannya dapat terjadi dalam dunia nyata, dunia sehari-hari ini. Mengherankankah? Janganlah heran apalagi terkaget-kaget mak tratap. Mengapa?
Karena dalam kehidupan sehari-hari ini kenyataannya terjumpai banyak banget dalang-dalang, ada dalang cilik ada dalang gedhe, ada dalang ajaran (sedang belajar) ada dalang tuwa; ada dalang pinter ngruwat.
Tetapi pasti ada juga yang harus diruwat dulu. Kompletlah isen-isening donya iki; seisi bumi ini komplet adanya. Karena itu, sekali lagi aja gumun(an), aja kaget(an), aja gampang kecil hati. Mengapa? Para dalang itu sebetulnya juga hanya wayang di hadapan Sang Khalik. Ada saatnya (akan) dimainkan.
Clingkrak-clingkrik
Mak clingkrik apabila terjadi beberapa kali atau sebutlah berulang, sebutan untuk orang itu lalu berkembang menjadi clingkrak-clingkrik. Artinya, hanya dalam jangka waktu amat singkat, seseorang itu tansah munggah pangkate, naik jabatan atau kedudukannya.
Baca juga Ora Get-geten
Kok isa? Banyak orang pasti akan bertanya seperti itu, kok bisa seseorang atau beberapa orang kenaikan pangkat, jabatan, atau kedudukannya sedemikian clingkrak-clingkrik? Di tataran birokrasi rasanya memang tidak gampang, namun lagi-lagi kenyataannya, di tataran politik (praktis) semua itu bisa terjadi.
Adakah pesan khusus atas fakta mak clingkrik dan clingkrak-clingkrik ini? Cukup satu saja pesannya, yakni agar semua pihak ingat saja hukum alam, hukum keseimbangan yang disebut hukum thermodinamika.
Alam semesta ini selalu seimbang seperti seimbangnya permukaan samudra raya di mana pun. Suatu saat di sana terjadi panas, tetapi akan datang keseimbangan menjadi dingin; suatu saat di sana ada pihak-pihak yang di atas yang dapat menjadi dalang apa pun dan siapa pun.
Hukum thermodinamika, pada saatnya nanti sangat mungkin akan mengatur serta menjadikan seimbang semuanya: pihak yang merasa berkuasa saat ini, suatu saat bisa juga akan “dikuasai.”
Maka, kepada siapa saja tetap penting diserukan: Eling waspada, aja dumeh, lan ……………sapa nandur bakal ngundhuh wohe.
JC Tukiman Taruna Sayoga, Ketua Dewan Penyantu Soegijapranata Catholic University