Setelah saya analisis, ternyata ketemu rumusnya, ternyata? Teknik! Mencari yang asli belum ketemu. Saya pernah terkecoh publikasi perguruan yang oleh di media ditulis, perguruan itu anggotanya kebal golok, api, dsb.
Lain hari lalu saya datang ke padepokannya. Kebetulan, saat itu sedang ada acara atraksi. Setelah saya amati, perguruan yang “katanya” mengajarkan kebal senjata tajam itu kelihatan kelasnya. Demo kebalnya pakai golok yang sudah ditumpulkan.
Saat demo mengangkat corong lampu yang sedang menyala, dia berwudu dulu. Air pada rambut itu yang digunakan membasahi tangannya, dan dalam posisi basah dia angkat corong lampu.
Kegagalan lain, saat berdiri di atas koran, sabetan cambuk dan atraksi lain, tidak sesuai publikasinya. Pada atraksi sabetan cambuk bagian betis anggota pada melepuh.
Begitu juga saat demo mengangkat orang berdiri diatas lembaran kertas koran, dan korannya lipatan 16 halaman dilipat empat. Kesimpulannya, sebagian besar demo-demo seperti itu lebih dominan unsur teknik.
Survey
Berangkat dari niat mencari debus asli, saya ke Banten. Kebetulan, ada penerbit buku meminta saya menulis buku tentang debus. Terbatasnya informasi tentang debus, saya minta informasi ke Dinas Pariwisata Banten.
Saat kesulitan mendapatkan informasi, saya ke Masjid Agung Banten dan menghubungi mahasiswa yang pembaca buku saya. Mahasiswa itu pernah bermain debus, namun tidak memdalami.
Saya lalu diantar sowan ke H Tubagus A Syadzili Wasi, pengasuh pondok pesantren Al-quraniyyah di komplek Masjid Agung Kesultanan Maulana Hasanuddin Banten. Beliau menyarankan saya sowan ke H Muhammad Idris di Walantaka.
Menurut beliau, dulu penyebaran agama Islam di Banten, melalui kesenian debus. Debus tercipta pada masa kesultanan Maulana Hasanuddin, untuk sarana menyebarkan Islam.
Jika Wali di Jawa Tengah memanfaatkan wayang kulit sebagai sarana dakwah, Sultan Hasanudin, yang putra Sunan Gunung Jati, memanfaatkan debus.
Dari Almadad
Almadad adalah cikal bakal debus dan kini tekniknya sudah bervariasi. Mereka yang sudah menguasai debus bisa dilihat dari cara memainkan almadad, yaitu besi runcing yang menempel pada kulit, agar menempel, besinya diputar hingga kulit menggenggam ujung besi.
Sedangkan dua tangan memegang rantai untuk menjaga jangan sampai almadad itu jatuh. Tentunya, tangan yang memegang rantai itu tidak menahan laju pukulan gada.
Sedangkan permainan debus teknik (show) tidak didasari ilmu kebal, cuku ditandai bagian ujung besi tidak menempel perut dan kedua tangan yang dipukul itu menahan jangan sampai ujung besi ada tidak bersentuhan langsung dengan kulit.
Pada zaman dulu, untuk menonton almadad membayarnya dengan membaca kalimah syahadat. Belakangan, Debus bermain sebagai seni atau hiburan, maka mengindari beradu dengan ujung besi.
Untuk menyiasati, pemain membungkukkan badan disertai kedua tangan memegang, ini sekaligus untuk menahan besi lancip agar tidak bersentuhan langsung dengan kulit bagian perut.
Jika ingin bermain debus yang asli, setiap satu ilmu “dibeli” dengan tirakat. Ada yang puasa satu hari, tujuh hari, ada yang 40 hari. Untuk kebal dari tusukan almadad, puasa 40 hari.Begitu juga agar tahan gores senjata tajam, bara api, dan memulihkan luka dalam waktu singkat, tirakatnya 40 hari.
Masruri, penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak Pati