blank
Ilustrasi. Reka: wied

blankOleh Marjono

KEMISKINAN acap kita maknai sebagai sesuatu yang kurang, buruk, di bawah standar maupun jauh dari ukuran normal. Bicara kemiskinan, deretan kemurungan tersebut seolah menjadi narasi dan praktik berulang setiap tahun. Kemiskinan yang disandang se-negeri ini tak kurang dari 25,90 juta orang atau sebesar 9,36 persen dari jumlah penduduk kita.

Penyokong barisan kemiskinan, selain pertumbuhan penduduk tinggi, masifnya pengangguran, keterbatasan pendidikan, terbitnya bencana alam juga distribusi pendapatan yang tak merata, dan lainnya.

Kemiskinan di atas secara revolusi dan evolusi terus dilakukan pencegahan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan, baik berupa bantuan instan, pendidikan dan pelatihan, pemberian akses dan kemudahan lainnya.

Tampaknya kemiskinan kita itu tak semata hitung-hitungan statistik ekonomi, hari ini pun kita masih dirundung kemiskinan yang jauh lebih menyengsarakan yang bisa saja menjelma menjadi gugusan kenestapaan yang menyumber pada sumber daya manusia atas nilai-ilai yang dipaktikannya.

Nilai-nilai kontrapoduktif penyokong kemiskinan merupa dalam sikap apatis, pasrah, boros, bergantung dan inferior, kemudian juga anggota keluarga banyak, kurang terintegrasinya warga miskin dengan institusi kemasyarakatan, dan sebagainya.

Nilai minor tersebut terus menjalar kala paktik kemiskinan nilai meyeruak dan dipertontonkan hampir seluruh elemen masyarakat. Sebut saja praktik korupsi. Merujuk data Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) untuk tahun 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor tersebut turun 4 poin dari tahun sebelumnya dan merupakan skor terendah Indonesia sejak tahun 2015.