Apabila telah ditindaklanjuti secara sinergi, maka masalah Rempang ndang rampung dalam arti bubar, yaitu selesai; dan seperti disebutkan di atas, pegangan penyelesaiannya ialah sekti mandraguna-nya Pancasila.

Sekadar main kata-kata saja, kalau rampung bermakna empat tadi; ada juga kata rempo dan rempon dalam Bahasa Jawa. Rempo, menggambarkan nasib seseorang  –umumnya di perdesaan– yang entah karena apa (1)  ora duwe bagian sawah, seseorang yang tidak memeroleh warisan sawah dari keluarganya.

Mungkin dia lebih memilih bagian warisannya berupa  pekarangan untuk mendirikan rumah,  dan rela tidak memeroleh sebagian dari sawah yang juga tidak luas.

Baca juga Minangsraya, Surat Terbuka kepada Bapak Presiden

Rempo juga berarti (2) wong kang mung melu-melu ngrembang tebu ananging ora oleh opah; yaitu seseorang yang sekedar ikut untuk menebang tebu, namun bukan pekerja resmi dan karena itu upahnya mungkin hanya  belas kasihan (saweran) dari pekerja resmi.  Sementara itu, rempon berarti terjadi perang amuk-amukan antara dua kelompok atau lebih.

Sekti Mandraguna

Setiap orang, saat ini, diingatkan akan arti pentingnya Pancasila sebagai pegangan utama penyelesaian masalah apa pun dalam kehidupan ini; lebih-lebih terkait permasalahan yang sedang ada di Rempang. Mari ingat, betapa Pancasila itu sekti mandraguna; dan penegasan ini bukan sekedar mitos belaka. Pancasila bukanlah mitos saja, melainkan juga sebuah logos yang mendorong tumbuh kembangnya etos dan pathos dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai logos (bahasa Yunani) Pancasila itu sabda, yaitu pikiran cerdas yang dikembangkan penuh nalar. Intinya, Pancasila itu logos karena mengembangkan pikiran dan nalar manusia Indonesia yang merangkum tiga hal penting yakni intelektualitas, akal budi manusiawi, dan pengalaman indrawi yang penuh rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.

Baca juga (Bocah) Kolon

Jika sebagai logos dan ketiga hal utama tadi dilaksanakan baik-baik, Pancasila akan menjadi etos bangsa Indonesia, yaitu sebagai cara persuasi etis yang menunjukkan kualitas dari kredibilitas, kompetensi, karakter, dan kepedulian. Mari kita tunjukkan betapa bangsa Indonesia itu memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi, memilik kompetensi yang andal, karakter yang hebat, pun tingkat kepedulian yang tinggi. Inilah etos Pancasila.

Dari etos semacam inilah berkembang baik yang disebut pathos, yakni kualitas unggul dalam berinteraksi sehingga orang mampu membuat diskresi (pembedaan jelas tegas) tentang mana yang esensi dan mana pula yang hanya tambahan/asesori belaka.

Pathos menjadikan  orang mudah tergerak hatinya oleh belas kasihan (Kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial), bukannya main kuasa misalnya. Tegasnya, pathos itu berarti sentuhan emosi belarasa, menangis sedih melihat orang lain sengsara dan karena itu janganlah membuat orang lain sengsara. Ini contoh konkret pathos Pancasila yang sekti mandraguna itu.

Di sinilah hebatnya Pancasila bagi bangsa Indonesia. Mengapa? Karena Pancasila itu selalu berada dalam siklus kehidupan manusia: Suatu saat membutuhkannya sebagai mitos agar terus berkembang logos, etos dan pathos-nya.

Pada suatu saat, dalam hal ini menghadapi masalah di Rempang, yang harus menjadi utama adalah logos, etos dan pathos sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia itu berkualitas dalam hal apa pun. Berpikirnya berkualitas, persuasi dan emosinya berkualitas, sampai sentuhan belarasanya juga sangat berkualitas.

Hidup Pancasila yang sekti mandraguna, karena memiliki kelebihan-kelebihan yang patut terus dikembangkan.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun  Soegijapranata Catholic University