blank
Ilustrasi, seorang editor sedang melakukan editing gambar. Foto: iStock /Reka wied

Oleh: Gunawan Witjaksanablank

KEMAJUAN teknologi informasi adalah berkah bagi yang memanfaatkannya secara positif dalam segala bidang, mulai dari sosial, ekonomi, dahwah, bahkan juga di bidang politik.

Di sisi lain kemajuan teknologi itu juga dipandang sebagai musibah, apabila benda mati tersebut disalahgunakan penggunanya, utamanya untuk mendiskreditkan, menyerang, bahkan menjatuhkan pihak lain.

Sayangnya, mudahnya melakukan pengeditan, menyebabkan seringnya terjadi komunikasi manipulatif (tidak jujur), dalam komunikasi politik, dengan tujuan menjatuhkan pesaingnya.

Contoh yang cukup aktual misalnya Bacapres Prabowo Subianto yang sedang berkonsentrasi melakukan pencatatan dalam sebuah pertemuan dengan Presiden diedit dan dipotong sehingga seolah mengantuk saat pertemuan tersebut berlangsung, diselingi dengan narasi serta kritik dari para netizen.

Contoh lainnya diskusi Bacapres Ganjar Pranowo dengan salah satu Wakil Rektor UI yang dipotong, sehingga tampak seolah Ganjar bengong dan tidak mampu menjawab. Tanggapan negatif netizen pun digunakan untuk memperkuat gambar tersebut, yang tujuannya jelas untuk menjatuhkan citranya.

Dua contoh aktual tersebut seolah hanyalah puncak gunung es, karena sejatinya manipulasi komunikasi dengan menyalahgunakan teknologi informasi untuk menyerang tersebut saat ini bak air bah yang kemungkinan akan bisa menenggelamkan banyak orang, utamanya yang tidak melek teknologi dan komunikasi.

Pertanyaannya akankah perilaku saling menyerang tersebut terus akan dilakukan? Tidak sadarkah para pelakunya bahwa makin cerdasnya masyarakat, serta mudahnya memperoleh informasi yang akurat justru akan menurunkan kredibilitasnya?

Kecerdasan dan Kejujuran

Seharusnya para kandidat, termasuk para tim suksesnya faham, bahwa dalam berkomunikasi, termasuk komunikasi politik, maka kejujuran adalah hal utama yang harus diperhatikan.

Selain itu, etika komunikasi pun perlu diperhatikan pula. Sayangnya, dalam kenyataannya ke duanya sering diabaikan, sedang yang utama dilakukan adalah menarik perhatian, meski mungkin mereka faham harus melakukan ketidakjujuran, sekaligus melanggar etika.

Mungkin mereka lupa atau mungkin abai bahwa kubu lawannya pun akan mengcounternya atau mungkin melakukan hal serupa. Belum lagi media lain yang pro peradaban dan pro pencerdasan memberikan informasi utuh yang mebetulkan komunikasi  manipulatif tersebut.

Meski ada teori yang menyatakan komunikasi tidak bisa diulang serta diperbaiki, namun dengan kecepatan dan ketepatan waktu serta majunya teknologi, akhirnya masyarakat akan tahu kebenarannya.

Celakanya, justru komunikasi manipulatif semacam itu menurut Yale akan memengaruhi karakter sekaligus menurunkan kredibilitas para manipulator sekaligus jagoan yang didukungnya.

Indikator yang bisa diamati antara lain adalah hasil survei popularitas serta elektoral jagoan yang sering di-bully tanpa disertai data pendukung yang akurat.

Menginformasikan segala sesuatu berdasar pembingkaian serta cara pandangnya masing- masing adalah sah. Yang tidak dibenarkan adalah memanipulasi informasi salah satunya dengan  melakukan pengeditan, sehingga menyesatkan.

Kecerdasan

Sebenarnya sesuai dengan harapan ideal siapa pun sesuai dengan ikrar yang sering mereka sampaikan adalah melakukan Pemilu damai, menggembirakan, serta mencerdaskan, demi kemajuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sayangnya, hal yang bersifat luhur tersebut sering ternodai dengan hal- hal tercela, hanya demi kepentingan kelompok dan sesaat. Karena itu, alangkah indahnya bila semua pihak saling melakukan introspeksi, sehingga ke depan jagad media kita lebih banyak diisi oleh informasi yang mencerdaskan, sehingga Pemilu yang merupakan kompetisi lima tahunan akan makin berbobot, sehingga akhirnya cita-cita menuju Indonesia Emas di tahun 2045 akan benar- benar bisa diwujudkan bersama.

Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si, dosen Ilmu Komunikasi USM