ADA pesan lewat messenger yang mengabarkan bahwa aka nada acara “resepsi sastra” pada tanggal 23 Agustus 2023 di Aula SMA Kesatrian 2 Semarang. Acaranya membincangkan novel Oase di Neraka tulisan Mbak Sulis Bambang, seorang penggiat sastra Tangguh di Semarang.
Mbak Dewi Es Cao menanyakan pada saya, apakah berkenan datang untuk acara ini. Dia meminta konfirmasi kedatangan itu, dan meminta Alamat saya. “Ya, insyaallah saya datang, Mbak,” balas saya.
Beberapa hari kemudian, sahabat saya Mas Agung Wibowo penyair Patidusa datang ke rumah, membawa buku Oase di Neraka karya Mbak Sulis Bambang.
Dan, sore ini, Rabu 23 Agustus 2023, mulai pukul 15.00 sampai menjelang magrib, digelar perbincangan tentang buku ini di Aula SMA Kesatrian di Jalan Gajah, dalam tajuk “Resepsi Sastra”. Dan, saya pasti menghadirinya.
Dua hari sejak buku itu datang, masih terbungkus, saya belum membukanya. Hari ketiga, buku itu kubuka, lepas Tengah hari dan saya mulai membacanya. Entah kenapa, saya marathon membaca buku itu, dalam waktu kurang dari dua setengah jam selesai. Tentu saja sempat terjeda untuk membuat kopi, menemani membaca buku itu.
Sebelum membaca isinya, saya tengok dulu tulisan di sampul belakang luar. Saya menduga, novel ini berkisah tentang pergulatan seorang perempuan yang berstatus sebagai istri, yang punya masalah dalam rumah tangganya.
Melaui novel ini, penulis meletakkan Perempuan sedemikian bebas dan mandiri untuk menentukan cerai atau tidak berdasarkan pertimbangan sendiri, tidak terseret “arus pendapat di luar diri sebab toh yang menjalani di surga atau di neraka bukanlah orang lain”. Begitu tulisan di sampul belakang, Ada salah tulis rupanya, mestinya “di neraka” tertulis “di negara”.
Melihat tulisan ini, saya kemudian menerka-nerka, ya tampaknya perempuan ini memilih perceraian meskipun menyakitkan yang dilambangkan dengan “neraka” tetapi dia mendapatkan kesejukan karena terbebas dari neraka itu.
Ternyata saya salah. Perempuan itu, Nena, seorang pramugari cantik yang memilih menikah dengan lelaki pilihannya, Aston, meskipun orang tua, terutama ayahnya sangat tidak setuju.
Satu hal, karena Aston berbeda keyakinan dengan keluarga Nena. Karena hambatan ini, kemudian hubungan Nena dan Aston harus putus. Alasan sang ibu, untuk yang seagama saja bisa pisah apalagi yang beda agama.