Nena punya pilihannya sendiri. Dia bisa hidup, nyatanya ketika covid  melanda, dia justru bisa meyalurkan kegiatannya dengan membuat roti dan ternyata laku. Kemudian merajut, dan ini menghasilkan.

Lalu kenapa Nena memilih neraka, dan menikmatinya, meski kepahitan tidak bisa dihindarinya.

Hati Seorang Ibu

Nena memang tidak mungkin bercerita tentang Anton yang minta izin untuk menikah lagi kepada ayahnya. Karena dia udah bsia membayangkan apa yang terjadi. Ayahnya pasti marah besar.

Tetapi dia punya ibu, Mamah, yang sangat memahaminya. Dan, Mamah inilah yang menjadi oase baginya, menyiramkan air sejuk di Tengah panasnya api.

blank

“Apa pun, Mamah minta kalian putuskannbaik-baik. Tidak perlu ada pertengkaran karena hanya akan memperkeruh keadaan. Dan ingat, ada tiga anak yang akan menderita jika kalian mengambil keputusan yang salah. Jangan sampai masalah kalian menyebabkan anak-anak menjadi korban dan menderita karenanya” (pesan Mamah kepada Nena, halaman 78).

Kemudian penguatan-penguatan sang Mamah kepada Nena tampaknya yang menguatkan. Meskipun ibu tidak menyarankan untuk bercerai atau tetap bertahan sebagai istri. Mamah hanya menyampaikan pesan-pesan bijak, tidak tampak nada benci terhadap Aston yang mengkhianatianak yang dikasihinya.

Kita pun mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana Nena bisa menerima kehadiran Monika. Bahkan mengizinkan anak-anaknya untuk menginap dan bepergian dengan ibu tirinya.

Suatu hal yang, kiranya sulit diterima. Bahkan Nena selalu berpesan pada anak-anaknya untuk jangan nakal, menghormati Mimi, atau ibu tiri mereka. Hati Nena terbuat dari apa?

Nama-nama Itu

Saya menikmati membaca buku ini. Bahkan, sempat muncul juga rasa sesakdi dada, seperti ingin nangis (maklum saya lelaki cengeng, gembeng). Setiap kali membaca, saya suka usil Ketika menemukan kata yang salah, ungkapan yang tidak pas, ejaan yang tidak benar, salah ketik, dan sebagainya.

Untuk buku ini, saya hrmat kepada penyuntingnya. Massakerah, sahabat saya, adalah editor yang sangat teliti. Untuk persoalan ejaan, tata kalimat, dan sebagainya sangat jernih. Meman gada beberapa “salah ketik” seperti kata Makas-ar (halaman 89). Nama kota ini Makassar (dengan dua s), dan ada tambahan tanda hubung (-) yang tidak perlu. Nama Astrid yang tertulis Astris (91). Tetapi ini sangat tidak mengganggu.

Hanya saya tergoda oleh pilihan nama pengganti yang dilakukan oleh penulis. Seperti nama Puri Dedeh, yang rasanya memang tdiak ada di Semarang. Mungkin plesetan dari Puri Gedeh. Kata Dedeh di Jawa Tengah memang tidak dikenal. Ini menjadi “agak lucu”. Kemudian “Jalan Mangunkusuma” yang memang tidak ada di Semarang, karena yang dikenal adalah Jalan Dr Tjipto.

Kemudian RS Panti Rejo, yang tampaknya plesetan panti rapih dan telogorejo.

Sementara Mbak Sulis menyebut nama-nama yang nyata seperti Tembalang, Sagan, dan sebagainya. Mbak Sulis pasti punya pertimbangan sendiri mengapa menulis seperti ini.

Selamat Mbak Sulit, neraka ini menjadi terasa sejuk……

Widiyartono R