Ilustrasi. Foto: mohamedhassan/pixabay

Oleh: Gunawan Witjaksana

MAKIN dekat dengan pelaksanaan Pemilu, utamanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), maka publikasi berbagai hasil survei oleh berbagai lembaga makin sering terpublikasi.

Hasilnya bervariasi, namun setidaknya antartiga bacapres terpopuler, setidaknya antardua bacapres, hasilnya salip menyalip, meski angkanya masih dalam kisaran margin of error.

Dengan demikian, belum ada yang bisa mengklaim jagoannyalah yang akan unggul. Berbagai upaya pun dilakukan, baik dengan memperkuat koalisi antarparpol, terus berupaya mendekati rakyat, memperbanyak dukungan tim relawan, serta cara lainnya.

Bagi masyarakat calon pemilih, terlebih yang hingga saat ini belum memantapkan pilihan karena mungkin belum ada penetapan calon ataupun merasa belum mantap menentukan pilihan, publikasi hasil survei yang sering dibumbui dengan optimisme para pendukungnya, kemungkinan akan membingungkan bagi mereka yang masih awam.

Sebaliknya, para pendukung yang merasa hasil surveinya unggul, sering menyikapinya berlebihan, sehingga seolah jagoannya pasti akan menjadi Presiden.

Terkait kondisi itulah, tulisan ini dimaksudkan memberikan informasi yang lebih jelas, utamanya terkait dengan pemaknaan hasil survei secara tepat, utamanya berdasarkan metode penelitiannya, dengan tujuan agar masyarakat paham dan tidak terkecoh dengan hasil survei yang terpublikasi.

Ilmu Statistik
Survei Pilpres yang menggunakan metode kuantitatif deskriptif, jelas merupakan metode ilmiah, yang tentu telah teruji.

Karena itu, akan sangat naif bila ada kalangan yang menyebut hasil survei itu dibuat karena bayaran.

Logikanya, sangat tidak mungkin lembaga survei akan mengorbankan nama sekaligus karakternya, hanya demi bayaran tertentu.

Di sisi lain, sebenarnya kita juga tidak bisa menyalahkan mereka yang meragukan hasil survei, karena rata-rata lembaga survei hingga saat ini tidak ada yang menyebut siapa yang membeayainya.

Meski demikian, dengan pikiran yang positif, kalau toh ada hasil survei yang bedanya mencolok misalnya, mungkin itu disebabkan oleh pemetaan sampling-nya yang berbeda, teknik pengambilan datanya yang berbeda, atau ada hal lain yang berbeda, baik terkait dengan alat ukur atau pun hal lain yang di luar alat ukur.

Yang jelas, penggunaan ilmu statistik sebagai probability science (ilmu kemungkinan), harus disadari dari awal, bahwa kemungkinan akan terjadi kesalahan. Karena itulah selalu ditentukan stadard of error-nya.

Terdapat contoh kongkret misalnya, kalahnya kandidat kuat Gubernur Jawa Barat serta Jawa Tengah kala itu, padahal hasil surveinya sangat diunggulkan.

Persepsi
Selain itu, karena survei ini adalah hasil persepsi masyarakat yang kondisinya masih sangat dinamis, karena pertanyaannya biasanya dikaitkan dengan kalimat, bila Pemilu diselenggarakan hari ini… dan seterusnya. Padahal perkembangan yang terjadi kadang tidak diduga, dan pilihan pun bisa juga masih berubah, karena adanya berbagai hal yang mempengaruhi.

Berbeda dengan quick count yang respondennya orang yang keluar dari bilik suara, sehingga mereka sudah selesai memberikan pilihan.

Yang jelas, bagi para pendukung para jagoannya, menggunakan hasil survei sebagai bahan evaluasi itu bagus. Sehingga ke depan mereka akan memperbaiki kinerja atau pun teknik serta media yang digunakan.

Namun, sangatlah tidak bijak bila menjadikannya sangat pede atau sebaliknya pesimistis, karena persepsi masyarakat masih sangat mudah berubah.

Bagi masyarakat, membaca hasil survei tentu bermanfaat. Namun memercayainya penuh tanpa reserve, akan kurang baik.

Karena itu, sembari terus mengikuti program para kandidat, serta bertabayun dengan mereka yang lebih memahami, akhirnya masyarakat pada saatnya akan bisa memilih siapa pasangan Capres dan Cawapres yang akan membawa Indonesia ke arah Indonesia Emas di tahun 2045 yang akan datang.

Drs Gunawan Witjaksana MSi; Dosen Tetap Ilmu Komunikasi USM dan Dosen Ilmu Komunikasi Udinus