Ilustrasi. Reka: wied

Oleh: Amir Machmud NS

Amir Machmud NS

SIAPA sejatinya Sang Pemersatu Bangsa?
Anda boleh menjawab, dia Tante Ernie, dia Maria Vania, atau siapa pun yang diasosiasikan memiliki magnet untuk menyamaratakan daya gravitasi semua orang.

Dia bisa menyatukan fokus tanpa memandang sekat primordi apa pun. Dan, elemen apa yang mampu menyatukan daya gravitasi Tante Pemersatu Bangsa, tak harus detail dijelaskan pun semua sudah paham. Dia mengetengahkan sudut pandang kekuatan magnetik untuk semua orang.

Nah, apabila kita menganalogikan magnet Sang Tante dalam konteks pemilihan Presiden Februari mendatang, dari tiga nama calon, kira-kira siapa yang akan menjadi sang pemersatu? Dengan kategori apa pun: boleh sebagai “Kangmas Pemersatu”, “Om Pemersatu”, “Pakdhe Pemersatu”, atau bahkan “Kakek Pemersatu”?

Daya tarik ketiga capres itu tentu tidak seliar imajinasi kita tentang Tante Pemersatu, namun pilihan visi akan menjadi fokus penilaian: benar-benarkah dia menjadi kebutuhan pengikat keindonesiaan?

Spirit keindonesiaan berfondasi kebinekaan, dalam realitas keberagaman yang membentuk kesiapan untuk “berbeda dalam elok aneka rupa”. Artinya, itu termaknai sebagai “zero intoleransi”, “zero dominasi”, “zero sok kuasa”, dan “zero sikap menang-menangan”.

Dalam analisis mikro, hakikat status “Kangmas Pemersatu” atau “Pakdhe Pemersatu” akan dilihat dan dirasakan dari seperti apa narasi, gestur, sikap, dan implementasi langkah mereka.

Kemasan Performa

Intoleran, antipluralitas, proradikal dan posisi sikap-sikap sebaliknya menjadi bagian dari isu yang diapungkan menjelang dan di tengah proses-proses Pilpres. Stigmatisasi negatif dan positif itu dieksplorasi oleh sebagian kalangan sebagai upaya untuk memecah kategori calon sebagai konsiderans memilih: siapa kandidat yang berjiwa bineka, siapa pula yang berkebalikan dari itu.