Tentu, elemen pengkategorian ini akan membelah opini, yakni calon ini cocok untuk kebutuhan keindonesiaan, dan yang “sebelah” lebih menarasikan mindset sikap yang berbeda.
Dalam konteks kategori tersebut, ketokohan sang pemersatu antara lain akan terasakan dalam memaknai dan merawat keberagaman keindonesiaan. Narasi pernyataan, pilihan diksi, agenda-agenda pendekatan dalam berkampanye, juga aura intrinsik-ekstrinsik yang ditunjukkan dalam gestur pergaulan keseharian.
Faktor lain yang tak kalah penting tentulah daya tarik personal. Politik boleh jadi memiliki habitat dan dunianya sendiri dengan parameter lebih pada urusan seni mengkreasi, mengolah, dan memanfaatkan peluang, seperti kata Otto von Bismarck sebagai “seni tentang berbagai kemungkinan”. Dalam proses “pengelolaan seni”, cara calon dan tim suksesnya akan butuh menampilkan kemasan daya tarik. Elemen-elemen budaya pop tetap jadi pertimbangan untuk mengemas.
Ketika calon pemilih dalam kontestasi adalah anak-anak usia milenial yang banyak terwarnai oleh pengaruh internet dan media sosial, maka transformasi budaya pop ke dalam proses-proses politik tak bisa dihindarkan. Kemasan performa calon yang berkontestasi akan dilihat, seberapa menarik, dan seberapa mudah menjangkau pikiran audiens yang dia tawarkan kepada khalayak?
Kemudahan akses informasi juga memberi pengayaan untuk pertimbangan dalam menjatuhkan pilihan. Maka akan muncul kesimpulan lewat pertanyaan-pertanyaan: Konservatifkah jalan pikiran cpres ini? Cukup representatifkah dia bagi suara milenial? Cukup solutifkah dia ketika disodori persoalan-persoalan bangsa?
Seberapa elok daya pikat kemampuan orasinya? Seperti apa keakraban gaya pendekayannya: dibuat-buat, atau terekspresi alamiah? Mampukah dia berkomunikasi dengan masyarakat akar rumput melalui bahasa dan gestur yang tidak artifisial? Apakah dia sosok yang temperamental? Atau, mengesankan tidak mampu menjabarkan pikiran dan ide kualitatif? Atau, benar-benarkah dia orang yang santun dan lembut?
Pada sejumlah titik konsiderans itulah faktor “kemasan” akan menentukan: mampukah si Capres tampil dengan kekuatan magnet sebagai sang pemersatu visi, pandangan, dan akhirnya menuntun keputusan publik untuk memilih?
Saat ini boleh jadi Anda telah mengantungi nama calon, dan diam-diam nama itu telah mempersatukan pilihan mayoritas bangsa ini. Apakah Anda akan istikamah mempertahankan pilihan itu nanti pada hari coblosan 14 Februari 2024? Ataukah Anda akan mengubah calon setelah mendapat “pertimbangan” untuk memilih, dan termobilisasi oleh gravitasi magnet “Kangmas Pemersatu”, “Om”, “Pakdhe”, atau “Kakek Pemersatu”?
Amir Machmud NS: Dosen Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.