Ilustrasi, para capres bergembira berjoged, masak rakyatnya berantem? Foto: Reka wied

Oleh: Yan Ardian Hendi Asmara

SUASANA menjelang tahun politik kondisinya makin memanas, utamanya di jagad media sosial ( medsos). Sayangnya, yang justru memanaskan adalah para pendukung informalnya meski belum resmi, serta para elit, termasuk beberapa intektual yang sering melontarkan pandangannya tanpa disertai data, selain asumsi mereka semata.

Bila kita cermati, utamanya di medsos, pesan-pesan komunikasi yang sangat tidak emphatik, bahkan cenderung tidak beretika makin sering kita jumpai.

Pengamat komunikasi politik yang juga dosen Universitas Pelita Harapan, Emirus Sihombing melalui diskusi di TVRI, menyebutnya demokrasi yang kurang beretika.

Kasus yang masih cukup panas adalah cercaan atau bila dibilang umpatan terhadap figur Presiden Jokowi sebagai simbol negara oleh seorang yang dianggap intelektual menggunakan kalimat yang sangat tidak pantas.

Oleh sebab itulah banyak kalangan, termasuk DPP PDI Perjuangan melaporkannya ke Bareskrim Polri, karena dipandang mengandung unsur pidana, dengan sejumlah bukti penguatnya.

Yang cukup mengherankan, yang membuat karut-marut suasana itu adalah para penggembira belum resminya. Sedang para capresnya tenang- tenang saja.

Bahkan Ganjar Pranowo yang sering didiskreditkan pun tenang-tenang saja sambil terus bertugas serta saat libur bekeliling menyapa masyarakat, dengan menggunakan bahasa yang empatik dan sangat santun, sekaligus jauh dari unsur menyerang calon pesaingnya.

Demikian pula capres Prabowo Subianto, dengan lugas menyatakan tidak masalah kalau sampai kalah lagi, sambil menyatakan toh setidaknya beliau pernah jadi Menteri Pertahanan.

Yang lebih menggembirakan lagi, ketika kita menyaksikan para capres bertemu berakrab- akrab , serta dalam kondisi riang gembira, sehingga seolah mampu meredam suasana panas di jagad medsos.

Karena itu, yang perlu kita renungkan bersama adalah, tidakkah suri tauladan yang sudah ditunjukkan para calon pemimpin bangsa tersebut meredam para penggembiranya? Tidakkah akan lebih baik pesta demokrasi tahun depan itu, kita lalui dengan suasana menggembirakan, dengan cara berpuasa mengeluarkan pernyataan yang memanaskan, bahkan cenderung menyesatkan?

Ki Hajar Dewantara

Kita tentu ingat salah satu kata mutiara Ki Hajar Dewantara yang berbunyi, hing ngarsa sung tuladha, hing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani .

Apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya telah dicoba ditunjukkan oleh para oleh para capres, lepas dari masih adanya kecurigaan sebagian kalangan yang dikaitkan dengan pencitraan dan komunikasi dramatisme.

Namun, kita sebaiknya mencoba percaya bahwa calon pemimpin bangsa tersebut berkomunikasi secara jujur, karena bila hal tersebut diabaikan, akhirnya akan berdampak pada penilaian terhadap kharakternya, yang ujungnya akan menurunkan kredibilitasnya.

Bila kita mencoba berpikir positif , maka tentu calon pemimpin bangsa itu ke depan kurang didukung masyarakat bila terpilih kelak.

Tentu setidaknya ke dua capres yang saat ini dinilai baik kinerjanya baik sebagai Gubernur atau pun Menhan, akan berbalik dijauhi masyarakat karena saat berkampanye ternyata menampilkan drama satu babak.

Contoh konkret terkait tingginya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Jokowi, tentu akan dijadikan pedoman dalam menilai kinerja siapa pun yang terpilih kelak, sekaligus menjaga  kinerjanya agar setidaknya mengimbangi Jokowi, syukur bisa meningkatkannya.

Karena itu, alangkah indahnya bila keinginan membangun bangsa ke depan dilalui dengan saling bergembira ria serta menjauhi hal-hal yang tidak menyenangkan.

Bila suasana riang gembira tercipta, maka hal-hal negatif  In Syaa Allah akan tereliminasi, syukur bila bisa dianggap angin lalu oleh sebagian besar masyarakat.

Yan Ardian Hendi Asmara, advokat dan curator, tinggal di Kabupaten Semarang