Oleh: Agus Pratiknyo
SEMARANG (SUARABARU.ID) – Menyikapi Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktorat Perhubungan Darat bersama Korp Lalu Lintas Kepolisian RI tentang Pengaturan Lalu Lintas (Lalin) selama masa libur panjang (cuti bersama) seakan menjadi sebuah kebijakan rutinitas baru dari dua stakeholder yang bertanggung jawab di dunia perhubungan.
Surat Keputusan Bersama yang berisikan kebijakan pengaturan lalu lintas dibeberapa ruas jalan utama, yang dikuatirkan menimbulkan kemacetan panjang bagi masyarakat yang ingin menikmati liburan seakan menjadi fokus utama pemerintah, bahwa kesuksesan sebuah pemerintahan khususnya dalam bidang perhubungan hanya dilihat secara kaca mata kuda saja, bahwa masyarakat dapat mengakses jalan tanpa adanya kemacetan atau gangguan.
Setelah masa pandemi Covid-19 terlewati, euforia libur panjang cuti bersama menjadi salah satu “ramuan khusus” pemerintah dalam mendongkrak kembalinya perputaran ekonomi di tanah air, dengan dalih bahwa dengan adanya libur panjang cuti bersama masyarakat akan berbondong-bondong berlibur atau hanya sekedar berbelanja dengan menikmati akses jalan yang lancar tanpa gangguan sehingga perputaran uang akan mendongkrak roda ekonomi.
Semangat euforia libur panjang cuti bersama lantas disambut oleh dua stakeholder terkait yaitu Direktorat Perhubungan Darat dan Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia dengan membuat “ramuan khusus” pula dengan membuat Surat Keputusan Bersama tanpa mengajak berdiskusi terlebih dahulu dengan sektor-sektor yang akan terimbas keputusan bersama tersebut. Seakan mengacuhkan dampak ekonomi lain pada sektor dunia usaha atau pabrikan. Tercatat pasca lebaran tahun 2022, kedua instansi terkait selalu membuat keputusan larangan bagi operasional truk angkutan barang sumbu tertentu yang notabene truk angkutan barang adalah menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah rangkaian sistem logistik.
Dengan dalih bahwa truk pengangkut barang menjadi penyebab utama kemacetan dan pemicu terjadinya kecelakaan, seakan pemerintah lupa bahwa dunia angkutan barang bukan hanya masalah kendaraan mengangkut barang dari dan ke tujuan dalam negeri saja. Banyak para pelaku bisnis lain terhambat dengan adanya kebijakan larangan truk barang sumbu tertentu tersebut selama masa libur panjang cuti bersama, seperti truk pengangkut peti kemas dari dan ke pelabuhan laut atau udara yang secara operasional terkait dengan sektor usaha lain seperti kapal dan pesawat, dimana kedua bidang usaha tersebut mempunyai regulasi yang terhubung dengan standar layananan internasional.
Pemerintah khususnya Direktorat Perhubungan Darat dan Korp Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, seharusnya mempertimbangkan efek dari Surat Keputusan Bersama yang dibuat bagi sektor dunia usaha angkutan barang. Dengan pembatasan yang dilakukan tentunya akan sangat berdampak besar bagi para pelaku usaha angkutan barang. Para pengusaha harus menanggung kerugian sangat besar dengan tidak dapat beroperasinya truk sumbu tertentu.
Pendapatan usaha yang menurun tajam karena produktivitas kinerja tidak maksimal disebabkan hari kerja efektif yang hilang, tentunya tidak akan dapat menutup beban biaya bulanan seperti biaya bunga pinjaman bank yang tidak mengenal hari libur cuti bersama. Para pekerja di dunia angkutan barang seperti pengemudi dan tenaga bongkar muat tentu sangat terdampak langsung, karena penghasilan mereka yang rata-rata dibayarkan secara harian berdasarkan pekerjaan harus menerima kenyataan bahwa aktivitas mereka dilarang oleh pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini kedua stakeholder terkait dunia perhubungan seharusnya paham dan lebih bijaksana dalam menyikapi kebijakan libur panjang cuti bersama. Para pelaku usaha tentu sangat setuju adanya pembatasan atau larangan bagi kendaraan angkutan barang sumbu tertentu khusus pada libur hari raya keagamaan yang memang sudah menjadi tradisi bagi umat beragama seperti Idul Fitri (lebaran) dan Natal. Akan tetapi jangan menjadi sebuah euforia bahwa adanya hari libur panjang lalu dibuat kebijakan larangan pembatasan kendaraan angkutan barang. Sebelum memutuskan kebijakan pembatasan kendaraan angkutan barang hendaknya mengundang semua pihak terkait baik para pelaku usaha, pabrikan dan semua asosiasi yang berkepentingan.
Semua pengusaha dan para pelaku usaha yang terdampak Surat Keputusan Bersama juga ingin “survive” usahanya, apalagi selama masa pandemi Covid-19 harus menanggung kerugian yang cukup besar. Disaat ingin melakukan “recovery” agar menutup kerugian, seakan pemerintah acuh hanya mementingkan ego dengan dalih memberikan layanan kepada masyarakat pengguna jalan agar lancar dan aman selama berkendara. Padahal sektor usaha seharusnya juga menjadi prioritas dilayani oleh pemerintah karena sebagai sumber pajak pendapatan negara.
Pemerintah saat ini juga seakan lupa dengan jargon awal yang pernah didengungkan yaitu Kerja…Kerja.. dan Kerja. Saat ini malah membuat rakyatnya menjadi santai dengan jargon baru… Libur…Libur dan Libur.
Agus Pratiknyo, Wakil Sekjen DPP Aptrindo Jawa Tengah.