Oleh : Hadi Priyanto

Seharusnya demokrasi bukan saja melahirkan pemimpin. Namun harus juga mampu menghadirkan pemimpin yang memiliki kualifikasi negarawan. Pemimpin yang senantiasa bersedia menjaga dan merawat demokrasi Pancasila dengan seluruh perasaan, pikiran, perkataan dan perbuatannya. Untuk kejayaan bangsa dan negaranya.

Memang sebagai produk budaya, demokrasi Pancasila juga mengalami pergeseran pemaknaan, walaupun substansinya tidak berubah : memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan kedaulatannya. Sebab melalui demokrasi rakyat mendapatkan hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya.

Persoalannya adalah pada cara seorang pemimpin meraih dukungan pemilih hingga rakyat menjatuhkan dan menentukan pilihannya. Karena itu tidak semua pemimpin yang lahir dalam kontestasi demokrasi elektoral saat ini memiliki kualifikasi negarawanan, walaupun kemudian memenangkan pemilihan.

Kita malahan diperhadapkan pada semakin sedikitnya pemimpin yang layak disebut sebagai negarawan. Bahkan setelah seperempat abad reformasi, bangsa ini seperti menghadapi realitas politik dan budaya, paceklik pemimpin yang memiliki kualifikasi negarawanan di semua jenjang pemerintahan.

Bangsa ini rindu lahirnya pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongannya. Bahkan diatas kepentingan partai politik dan kelompok yang mengusungnya. Sebab sebagai seorang negarawan ia harus memposisikan diri menjadi milik semua eleman bangsa.

Karena itu dengan kesadaran ideologisnya, seharusnya loyalitas seorang pemimpin kepada partai politik dan kelompoknya, harus ditransformasikan menjadi loyalitas kepada kepentingan bangsa dan negara.

Tentu tidak mudah. Sebab sang pemimpin akan menghadapi tantangan berat ketika berusaha mentransformasi diri dari basis politiknya. Tantangan terbesar dan terberat justru datang dari kelompoknya sendiri. Sebab ia harus meninggalkan kepentingan kelompok untuk merangkul semua golongan.

Keutamaan Moral dan Etik

Seorang pemimpin yang memiliki visi kenegarawan senantiasa memegang teguh keutamaan-keutamaan moral dan etik. Karena itu pemimpin bervisi negarawan akan merasa terlalu rendah jika masih disibukkan oleh masalah-masalah di luar nilai-nilai profetik seperti strategi, taktik dan intrik merebut kekuasaan. Apalagi dengan menghalalkan segala cara dan menjadikan demokrasi hanya menjadi alat untuk kepentingan-kepentingan pragmatis.

Persoalannya dalam negara yang berdasarkan hukum adalah kecenderungan orang hanya patuh terhadap hukum dan mengabaikan nilai moral dan etik. Hukum dipandang lebih memiliki kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif, ketimbang menjunjung nilai moral dan etik.

Problematika akan muncul, sebab hukum belum mencakup semua hal mengenai tingkah laku warga negara dan institusi negara dalam berdemokrasi. Akibatnya, banyak orang beranggapan bahwa yang tidak dilarang dalam hukum, boleh untuk dilakukan walaupun kemudian bertentangan dengan nilai moral dan etika.

Etika adalah sebuah penilaian terhadap sesuatu, pantas atau tidak pantas, patut atau tidak patut, baik atau tidak baik, etis atau tidak etis. Ketika seseorang mengabaikan moralitas dan etika sebagai sebuah prinsip dasar, maka ia sebenarnya melanggar kesepakatan bersama.

Pelanggaran moral itulah yang membuat seseorang akhirnya mencari jalan, melakukan apapun untuk meraih kekuasaan selama tidak melanggar hukum dengan mengabaikan moralitas dan etika dalam berdemokrasi. Padahal moralitas dan etika harus dipahami sebagai garda terdepan untuk membuka jalan menuju sebuah kebaikan bangsa dan negara melalui demokrasi.

Seharusnya seorang pempimpin dengan visi negarawan bukan hanya mengedepankan hukum, tetapi juga harus menjunjung tinggi moral dan etika agar dapat mengontrol ritme demokrasi sehingga menjadi sebuah kebaikan bersama yang hakiki.

Seorang pemimpin dengan visi negarawan harus mampu untuk mengatur kehendak dalam dirinya agar tidak bertentangan dengan nilai demokrasi Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dorongan hati untuk berbuat baik tentu akan menciptakan proses dan hasil akhir yang baik pula. Karena itu seorang pemimpin dengan visi negarawan, tidak hanya bersandar pada hukum dengan mengabaikan standar moral dan etika.

Penulis adalah pegiat budaya yang tinggal di Jepara