“Bapak dekat-dekat saja kerjanya di Semarang. Seminggu sekali pulang ke Karangrayung. Saya sendiri tidak bisa kerja karena sering sakit-sakitan,” ujar Daryanti.
Saat ditemui di rumahnya, Daryanti mengungkapkan bahwa kondisi bangunan rumah milik mereka hanya berdinding bambu dan atapnya menggunakan lembaran plastik yang biasa digunkaan untuk tenda dan seng.
Sebagian dinding bambu ini sudah lapuk. Jika hujan turun, Daryanti mengaku sedih karena air hujan masuk lewat atap dan dinding rumah reyot itu.
“Ya begini ini kondisi rumah saya, kalau hujan airnya masuk ke dalam lewat atap sama tembok (menunjuk bambu yang lapuk). Ya bagaimana lagi, memang kayak begini kondisinya,” ujar Daryanti.
Tidak seperti rumah pada umumnya yang ada sekat antarruangannya. Di rumah ini, tidak ada sekat pemisah. Bahkan, kasur hanya diletakkan di lantai tanah. Kipas angin juga turut diletakkan di lantai tersebut.
Kondisi dapur rumah Daryanti yang tidak layak untuk dikatakan dapur sebagai tempat memasak. Kondisi dapur rumah Daryanti yang tidak layak untuk dikatakan dapur sebagai tempat memasak.
Barang yang mewah yang hanya dimiliki oleh Daryanti yakni bufet dan satu tempat tidur. Ruang kecil pada bagian belakang rumah ini dipergunakan untuk memasak.
“Belakang atapnya terbuka. Biasanya kalau hujan turun, airnya masuk semua,” tambah Daryanti.
Jadi Tukang Ojek
Selain sang suami yang bekerja keras sebagai kuli bangunan di Semarang, sang anak juga turut bekerja di sana.
Di Ibu Kota Jawa Tengah ini, ada secercah harapan bagi keluarganya untuk mewujudkan mimpi mereka punya rumah layak. Daryanti mengungkapkan, keduanya merantau ke Kota Atlas ini bekerja dengan dua profesi yang berbeda.
“Bapaknya jadi kuli bangunan, anak pertama saya jadi tukang ojek di sana. Semua mereka lakukan demi bisa punya rumah yang bagus,” ujar Daryanti.
Bahkan, sang anak yang mendapatkan rejeki dari ojek tersebut hasilnya disisakan untuk membeli besi.
“Ada rezeki buat beli besi. Dia punya mimpi besar untuk dapat rumah yang layak kaya teman-temannya,” tutur Daryanti, sambil menitikkan air mata.
Daryanti sendiri mengaku, sampai hari ini tidak dapat bantuan sosial seperti PKH atau RTLH. Hanya mendapatkan bansos saat wabah covid-19 lalu. Pada bulan Ramadan, keluarga ini mendapaykan beras 10 kilogram. Namun, Daryanti mengaku tidak tahu siapa pemberinya.