Oleh: Gunawan Witjaksana
SALAH satu filosofi sekaligus prinsip komunikasi itu adalah kejujuran (honesty). Semenarik apa pun pesan yang akan kita sampaikan kepada khalayak, kita sebaiknya tetap memperhatikan kejujuran serta etika pesan yang kita sampaikan.
Sayangnya, akhir-akhir ini seolah hal tersebut terabaikan, dan yang ditonjolkan hanyalah pesan yang menarik dan khalayak akan terpengaruh olehnya.
Bila kita cermati pesan-pesan di media sosial, utamanya yang audio visual, pesan manipulatif yang abai terhadap kejujuran tersebut bagai jamur di musim hujan.
Wujudnya bisa orisinil, artinya tanpa diedit secara teknis, namun didalamnya menggunakan kata yang dimanipulasi karena terpotong- potong, dengan menggunakan bahasa vulgar dan abai etika, tapi banyak pula yang diedit secara teknis, yang penting mampu memengaruhi khalayak.
Dalam dunia bisnis, khususnya iklan, hal itu banyak terjadi. Contoh kongkret adalah iklan rokok, yang lebih menonjolkan kenikmatan dan sejenisnya, namun menutupi pesan yang terkait dengan bahaya merokok.
Yang lebih memprihatinkan lagi menjelang tahun politik, manipulasi pesan juga banyak dilakukan para elit, dengan seolah menyampaikan gagasan hebat. Namun bila dicermati, ternyata datanya tidak utuh serta dipotong, sehingga bisa menyesatkan khalayak penerimanya.
Contoh aktual misalnya, tentang pembangunan infrastruktur, jalan berbayar dan tidak berbayar, bahkan ada juga yang bersentuhan dengan SARA, yang seharusnya tidak layak disampaikan, selain hanya bagi kepentingan kelompok sesaat, sesuai tujuan yang ingin dicapai.
Dampaknya, selain memicu polemik lanjutan bagi yang melek komunikasi dan teknologi, mungkin bisa juga berupa terjadinya opini yang sesat.
Pertanyaannya, tidakkah para komunikator manipulatif tersebut menyadari dampak negatif tindakan mereka? Meski mereka juga berdalih bagi masa depan bangsa dan negara? Bagaimana sebaiknya masyarakat bersikap menghadapi kenyataan tersebut?
Sikap vs Perilaku
Khalayak juga perlu mencermati sikap para elit politik, yang sering tidak satu kata dan perbuatan. Janji sering tinggal janji dan dilupakan.
Padahal itulah komunikasi manipulatif, yang dari sisi Public Relations, terlebih pada masyarakat yang makin cerdas dan diperkuat jejak digital yang menunjukkan sikap aslinya, akan menyebabkan akhirnya calon pemilih menghindarinya.
Dalam bahasa komunikasi lainnya, janji itu menjadi sesuatu yang abstrak, sedang kinerja yang ketahui dan dirasakanlah yang terpatri.
Indikator yang menjadi bukti kongkret saat ini adalah, tingginya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi.
Mencerdaskan
Harapannya, ke depan komunikasi manipulatif yang dilakukan para elit sebaiknya diganti dengan komunikasi yang informatif sekaligus obyektif, karena didukung oleh data yang akurat serta komprehensif.
Hal itu perlu dilakukan, karena masyarakat yang kian dicerdaskan oleh teknologi, khususnya dengan melihat jejak digital, akan menilai mana elit yang benar-benar bekerja untuk rakyat, dan mana yang sulanji alias suloyo ing janji atau sering ingkar janji.
Namun, bila toh para elit tetap saja mengumbar pesan manipulatif, maka rakyat tinggal menilainya melalui jejak digitalnya yang saat ini sangat mudah didapatkan, atau yang masih kesulitan, dengan melakukan komunikasi dua langkah dengan mereka yang melek komunikasi dan teknologi, sekaligus bisa mereka percaya.
— Drs Gunawan Witjaksana MSi, Dosen Tetap Ilkom USM dan Dosen Ilkom Udinus —