blank
Ilustrasi. Foto: Reka Wied

blankJC Tukiman Tarunasayoga

ALKISAH, di Desa Jagasatru, di wilayah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, tinggallah dua perempuan bernama M dan W, bertetanggaan, namun hidup kesehariannya benar-benar bermusuhan. Seolah “mengemban amanat” nama desanya, M dan W melakukan jagasatru, saling menjaga permusuhannya.

Dan yang menarik,  permusuhan M dan W ini sepihak atau berat sebelah, karena M yang lebih aktif melakukan teror harian (lewat menyiramkan air kencingnya, bahkan konon tinjanya, atau buang sampah ke depan pintu rumah W.).

Teror itu telah berlangsung konon sejak 2017, dilakukan secara “rajin-konsisten” oleh M dalam frekuensi antara satu sampai tiga kali setiap harinya; dan  secara  “rutin-konsisten” pula W dan menantunya setiap pagi membersihkan daun pintu dan depan rumahnya dari kotoran dan bau.

Dua perempuan yang sama-sama memiliki daya tahan jagasatru; satu peneror yaitu M dengan harapan W tidak krasan dan menjual murah rumah itu kepadanya.

Baca juga Nglimpe

Logika berpikir M yang sangat-sangat tegak lurus …… rajin-konsisten meneror air seni dan tinja, pun ngarep bahwa bekas rumah adiknya itu akan dijual (murah) kepadanya. Lha wong jelas-jelas meneror kok masih ngarep rumah itu akan dijual kepadanya?

W tidak kalah hebat daya tahannya menghadapi teror itu. Meski pasti penuh rasa jengkel, ia tetap saja bertahan tinggal di situ dan setiap saat sibuk membersihkan pintu rumah dan pekarangannya dari kotoran yang sangat-sangat kotor itu.

Bahkan, karena kalau lewat depan rumah M baik W atau pun cucunya akan dikata-katain; W minta keiklasan tetangganya agar boleh membuat lorong kecil  untuk bisa keluar dari rumahnya menghindari lewat depan rumah M.

Satru 

Benar-benar tidak gampang memahami dua perempuan itu, dan sejauh info-info tentangnya benar adanya, akar permasalahannya adalah permusuhan sepihak sebagaimana telah dikatakan di atas. Tepatnya, karena ada target tertentu, M memusuhi W sedemikian jorok caranya; namun W tetap mampu bertahan meski terus menempuh jalur hukum.

Dalam ungkapan Bahasa Jawa, sikap yang ditunjukkan oleh W disebut nglelemu satru, yaitu berarti beciki mungsuh dengan cara berbaik-baik terhadap musuh(-nya). Besar kemungkinannya W tidak menganggap M sebagai musuh, padahal M sangat-sangat garang dan “sadis” menempatkan W sebagai musuh bebuyutannya.

Baca juga Kurup

Seperti diketahui, satru (Jawa) itu musuh artinya; maka ada ungkapan satru -ati atau satru manah, yang artinya memungsuhan batin, utawa butarepan amarga rebutan wong wadon. Konteks satru-ati (=satru manah) ini sebetulnya ialah dua lelaki yang merasa bermusuhan karena memperebutkan cewek.

Nah …………. dalam hal kasus M dan W di atas, kedua perempuan itu bermusuhan karena memperebutkan rumah. Mengapa?  Konon ceriteranya, sederetan rumah-rumah di situ adalah milik keluarga besar M, dan salah satu adik M menjual rumahnya dan dibeli oleh W. Dalam hitungan tahun, M ingin agar rumah adiknya itu dapat “dikuasai” lagi.

Satru munggeng cangklakan

Ada satru-ati (=satru manah), ada juga satru munggeng cangklakan, terasa ada sesuatu dalam ketiak, dan itulah  musuh dalam selimut. Jangankan M dan W yang  bertetanggaan, mereka yang bersaudara sedarah pun  dapat bermusuhan, Nah itulah satru munggeng cangklakan, bermusuhan antar saudara. Makin rumit lagi biasanya dibandingkan dengan bermusuhannya M terhadap W.

Dalam tahun politik saat ini,  adakah atau tepatnya akan berkembangkah permusuhan di antara mereka yang berbeda pilihan politiknya?  Akan terjadikah satru munggeng cangklakan, atau pun satru-ati (satru manah)?  Harapannya, janganlah terjadi hal-hal kurang beradab seperti itu.

Apalagi, sangat berharap jangan ada orang atau kelompok menempuh cara-cara M lewat terror yang sangat tidak terpuji itu. Kompetisi memang harus,  dalam rangka mengembangkan kualitas personal siapa pun; namun jauhkan sikap tidak beradab seperti dilakukan M. Mari kita kembangkan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University