blank
Para pemain Timnas U22 Indonesia merayakan golnya ke gawang Thailand, di babak final cabor sepak bola SEA Games 2023. Foto: pssi

Oleh: Amir Machmud NS

// kau resapilah diam-diam/ keindahan mengeram dalam ketegangan/ menguatkan rasa yang kau terima/ sepak bola bagai mencabut sukma…//
(Sajak “Final Gila”, 2023)

blankINILAH final gila, final yang serasa menyedot jiwa…

Dan, dalam sejarah perjalanan kewartawanan saya, sedikitnya empat laga sepak bola saya kategorikan sebagai “final gila”.

Tiga di antara empat pertandingan pamungkas itu betul-betul menguras syaraf keterlibatan perasaan saya. Tak ada batas sebagai penikmat sepak bola, pun sebagai wartawan.

Duel Indonesia versus Thailand dalam perebutan medali emas SEA Games di Phnom Penh, Kamboja, 16 Mei kemarin adalah salah satunya. Itulah final “gila” sekaligus laga yang terasa bagai membetot sukma.

Rizky Ridho dkk meraih medali emas yang sudah sepanjang 32 tahun dinanti. Ikhtiar mengulang sejarah emas Pasukan Anatoly Polosin di Manila 1991 dan skuad Bertje Matulapelwa di Jakarta 1987 terasa betapa rumit, dan akhirnya tim racikan coach Indra Sjafri mewujudkan impian itu. Dia telah menjejak final SEA Games pada 2019, namun baru empat tahun kemudian merasakan bahagia juara.

Di tempat yang sama, Stadion Olimpiade Phnom Penh pada 2019, Indra mampu membawa Tim U22 menjuarai Piala AFF, yang menguatkan branded sebagai pelatih spesialis tim muda setelah berjaya di Piala AFF U19 2013.

Final “Gila”
Dalam persepsi subjektif saya, final “gila” sebelum kisah patriotisme anak-anak Indonesia di Kamboja adalah laga puncak Piala Dunia 2022: Argentina vs Prancis, lalu final Copa America: 2021 Argentina vs Brazil, dan Piala Dunia 1978 Argentina vs Belanda.

Duel puncak Qatar 2022 menguras emosi saya, karena keberpihakan untuk menyaksikan Lionel Messi melengkapi kemaharajaan dengan mengangkat Piala Dunia. Momen itu benar-benar menjadi gabungan “rasa”: sebagai wartawan dan penikmat bola.

Laga puncak Copa America 2021 juga melibatkan Leo Messi, yang ketika itu belum meraih satu pun trofi major bersama tim nasional Argentina. Akhir pertandingan itu terasa sebagai klimaks drama yang sangat menegangkan.

Lalu ada apa dengan final 1986? Itulah episode dini perjalanan apresiasi saya terhadap sepak bola, yang menemukan bentuk ketegangan menyaksikan pertunjukan berkelas Mario Kempes dkk melawan Rob Rensenbrink di Buenos Aires. Albiceleste memenangi pertarungan penuh provokasi itu melawan Tim Oranye lewat perpanjangan waktu.

Berikutnya, Stadion Olimpiade Phnom Penh mengetengahkan “kegilaan” yang tentu bernilai lebih, 16 Mei kemarin.

Di dalamnya terlibat elemen-elemen keberpihakan tentang nasionalisme, penantian panjang, dan impian untuk menembus bayang-bayang inferioritas Tim Merah-Putih di hadapan Thailand dan Vietnam dalam konstelasi kekuatan Asia Tenggara.

Bayangkanlah “drama-drama” dalam fragmen yang susul menyusul. Unggul 2-0, disusul 2-1, dan ketika Indonesia sudah siap merayakan kemenangan, Thailand malah menyamakan skor 2-2. Lalu babak perpanjangam waktu, dalam kondisi keterkurasan fisik dan psikologis karena rangkaian tekanan insiden, Indonesia mampu menambah tiga gol.

Konstruksi ketegangannya mirip dengan final Qatar 2022. Argentina unggul 2-0, disamakan 2-2, leading lagi 3-2, disetarai 3-3, dan laga pun dipuncaki dengan drama adu penalti. Messi cs pemenangnya!

Ketegangan proses meraih emas di Kamboja kali ini punya perspektif yang berbeda dari 1987 dan 1991.

Pada 1987, ketika Ribut Waidi (alm) menjadi pahlawan berkat gol tunggalnya ke gawang Malaysia, Indonesia masih dalam edar elite Asia Tenggara. Laga di Senayan itu berjalan seru, dan coach Bertje menghadirkan salah satu tim terkuat dalam sejarah sepak bola kita.

Kunci sukses tim 1991 anggitan Polosin lain lagi. Pelatih asal Moskwa itu mengandalkan daya tahan fisik pemain, dan itulah yang terbukti menjadi pembeda. Adu penalti dalam dua laga semifinal melawan Singapura, dan final versus Thailand menunjukkan kualitas istimewa kesiapan fisik pemain.

“Kegilaan” di SEA Games kali ini, dari sisi atmosfer ketegangan, jelas di atas tensi final 1987 dan 1991.

Bukankah raihan juara dengan warna dan drama yang complicated, rasanya memang memberi “harga” dan “kesan” berbeda?

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah