blank
Ganjar Pranowo "diserbu" sejumlah siswa sekolah, yang hendak menyalami dan meminta foto bersama. Foto: sb

Oleh: Amir Machmud NS

blankPERHATIAN tentang daya tarik figur publik tak terlepas dari bagaimana pemberitaan media “memancarkan” potensi gravitasi intrinsik menjadi gravitasi ekstrinsik sosok publik itu. Logikanya, seseorang yang “dari sononya” tidak memiliki magnitude secara alamiah, apabila di-blow up dengan pencitraan model apa pun tentu sulit menghasilkan gravitasi ekstrinsik.

Artinya, hanya dengan magnet personal-lah seseorang bisa meraih magnet publik. Dalam bahasa budaya pop, dia memiliki pesona, daya pikat untuk menaklukkan perhatian publik. Ungkapan Jawa mengatakan, “elok merak ati”.

Politik citra menemukan bentuk ketika Susilo Bambang Yudhoyono mulai berkampanye untuk pencalonan Presiden pada 2004. Ada lembaga-lembaga yang fokus menjadi bagian dari ikhtiar mengangkat citra. Tren ini makin berkembang pada era lompatan kemajuan teknologi informasi, ketika berbagai platform media sosial menjadi peranti pendukung dalam membangun performa oleh para figur publik.

Di ranah kepemimpinan dan kompleksitas kompetisi politik, dalam perkembangannya, politik citra itu membentuk model-model dukungan lewat peran influencer, endorser, dan buzzer.

Sejumlah gubernur dan bupati/wali kota aktif menggunakan media sosial, baik untuk menginformasikan capaian-capaian kinerja, maupun mem-blow up aktivitas personal yang terkait dengan penguatan kepemimpinannya. Orientasinya, tentu bagaimana meraih simpati dan kepercayaan publik. Langkah ini merupakan konsekuensi wajar, karena bantuan teknologi informasi akan menciptakan shortcut penyampaian persoalan masyarakat dan opsi-opsi penyelesaiannya.

Ganjar Pranowo merupakan satu di antara tiga tokoh — dua lainnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur (waktu itu) DKI Jakarta Anies Baswedan — yang dikenal sangat aktif memanfaatkan peranti media sosial untuk branding personal dan branding publik.

Pada 27 Februari 2020, dalam Forum Perangkat Daerah yang digelar oleh Diskominfo Jawa Tengah di Semarang, Andi Yulianto dari Indixindo Yogyakarta menyebut Ganjar Pranowo sebagai “Gubernur Teladan Digital”. Andi memaparkan penelitiannya, 25 daerah di Jawa Tengah cukup baik dalam memanfaatkan teknologi informasi, dan sisanya berkategori sangat baik dalam nge-ti (menggunakan IT).

Kebutuhan Kasual
Sejak periode pertama kepemimpinannya, Ganjar memang “meng-kasualisasi” birokrasi melalui pemanfaatan media sosial, yang kemudian bergerak menjadi “kebutuhan”. Kanal pengaduan dibuka untuk mempercepat penyelesaian persoalan-persoalan layanan publik, dan secara efektif mengakselerasi kinerja organisasi-organisasi perangkat daerah (OPD).

Pada sisi lain, pilihan penggunaan media sosial untuk mem-back up kasualisasi birokrasi itu, rupanya menjadi “amunisi” bagi pihak-pihak yang tidak menghendaki ketika nama Ganjar Pranowo mulai banyak disebut dalam percaturan calon presiden. Dia menghadapi aneka tudingan, bahwa hari-hari kepemimpinannya sebagai Gubernur lebih banyak disibukkan oleh pencitraan melalui aneka platform media sosial.

Tudingan itu, menurut saya, perlu dilihat secara proporsional. Bukankah sejatinya ada branding fungsional yang otomatis melekat dalam tupoksi sebagai kepala daerah? Bukankah ada intensi pencitraan yang melekat untuk memacu reformasi pelayanan dalam fungsi birokrasi yang gesit, akrab, dan cepat?

Bahkan, dalam pandangan saya, andai tanpa intensifikasi pencitraan pun, dalam diri Ganjar Pranowo sudah memancar daya pikat intrinsik, yang membangun magnet ekstrinsik publik. Perspektif media mudah menyimpulkan, performa Ganjar Pranowo adalah “objek pasar” yang berpotensi melahirkan berita-berita berdaya tarik.

Pertama, kecerdasan. Kedua, sikap kasual. Dua elemen ini saja akan mudah mengonstruksi citra sebagai “faktor pembeda” dibandingkan dengan sejumlah figur publik lainnya. Dua elemen itu juga mudah mendatangkan daya pikat bagi semua segmen usia di masyarakat, tidak hanya segmen usia milenial.

Karakter Personal
Setiap pemimpin tentu memiliki karakter dalam tampilan personalnya. Kalau membandingkan performa Presiden yang sekarang, Joko Widodo, yang menonjol adalah citra sebagai sosok humble, merakyat, dan apa adanya. Sifat-sifat itu secara intrinsik memancar sebagai tampilan di tengah rakyat.

Ketika elemen “kesederhanaan” menjadi sumber “spiritualitas kepemimpinan” yang secara umum dikehendaki oleh rakyat, maka potensi-potensi magnetik pemimpin kita di masa depan mesti menyatu ke sumber spiritualitas itu. Bukan sekadar masalah kesinambungan kepemimpinan, melainkan lebih pada pemancaran sumber keteladanan, ketika fenomena-fenomena hedonisme, flexing (kebiasaan pamer) dan bias pemanfaatan kesempatan banyak mewarnai kehidupan di sekitar kekuasaan dan cabang-cabangnya.

Tentu pemancaran nilai kesederhanaan dalam keseharian hidup tidak bisa dipaksakan dengan eksplorasi pencitraan. Bukankah ini adalah kondisi yang publik mudah menilai: alamiah atau tidak? Magnet personal hanya akan menjadi magnet publik apabila memancar sebagai karakter alamiah yang tidak dipaksa dengan “skenario” — misalnya seolah-olah merakyat, seolah-olah karib dengan kaum milenial, seolah-olah tawaduk kepada senior dan para agamawan.

Kekariban dengan milenial, ikut menghayati “rasa rakyat”, ketawadukan kepada senior dan pemuka agama tidak bisa “dibentuk” dengan akting yang hanya menghasilkan “penampilan” canggung. Betapa pun media sosial meramu, atau media mainstream mem-framing, pada akhirnya yang akan berbicara adalah kenaturalan magnet personal. Daya tarik publik hanya terbentuk oleh persepsi yang tidak dipaksakan melalui statemen atau sikap-sikap yang tidak berkekuatan intrinsik.

Nah, di antara nama-nama yang dicalonkan sebagai Presiden RI, siapa yang menurut Anda benar-benar memiliki magnet personal sekaligus magnet publik?

Amir Machmud NS, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah