blank
ilustrasi. wied

blankJC Tukiman Tarunasayoga

PADA awalnya adalah suthik, maka jadilah tindak korupsi, kecurangan, silang selisih pendapat, pertengkaran, hidup kurang damai, dst.

Ya, pada mulanya karena suthik, maka sangat mungkin pimpinan memilih tidak menegur anak buah meski tahu sejumlah anak buahnya tidak disiplin, misalnya.

Pada awalnya karena suthik, dan dari sanalah hilang kebiasaan saling mengingatkan dalam kehidupan bersama ini. Bagaimana mau mengingatkan jika tanggapan orang yang diingatkan itu njur nesu, marah? Ah, suthik, ah!!

Demikian hebatkah si suthik ini, sampai-sampai ada semacam “ketakutan” dalam kehidupan bersama ini? Supaya semakin serem, pertanyaan ini harus diperkaya lagi lewat pertanyaan lain: Mengapa suthik amat mudah terjadi? Ada maksud apa sih sampai-sampai orang memilih bersikap suthik katimbang lainnya?

Suthik lan serik

Suthik bermakna dua, yaitu (1) ora gelem, maksudnya tidak mau, ogah; dan (2) sungkan. Ketika dicari makna sungkan, yang ditemukan (a) emoh tumandang, tidak mau mengerjakannya, dan (b) ora doyan ing gawe, ora gelem; itulah mirip-mirip dengan arti di atas yaitu selalu ada orang yang tidak mau mengerjakan. Tentu pertanyaan besarnya: Mengapa?

Baca juga Sudah Pog, Pol, dan Por

Maaf seribu maaf, inilah salah satu karakter kita, yaitu ora gelem dan sungkan; dan yang terkait dengan ora gelem itu pada umumnya berupa ketidak-mauan secara sangat luas: Tidak mau ndhisiki (mendahului), tidak mau atau tidak ingin menyinggung perasaan siapa pun; tidak ingin nampak menonjol, tidak mau sok pamer, dsb. dst ………dan akumulasi dari serba tidak mau ini, mendorong orang untuk ogah berinisiatif seraya lebih baik bersikap diam saja.

Seperti itulah  “kondisi internal orang (setiap orang)” dan kondisi eksternalnya: Bisa-bisa orang lain tersinggung (baca serik) berhubung ada orang yang ora suthik. Tegasnya, banyak orang mengambil sikap diam/emoh/ogah dengan pertimbangan untuk menghindakan orang lain serik, yaitu marah dan tersinggung. Nah …………sulit kan hidup bermasyarakat itu?

Pakewuh?  

Ada banyak contoh konkrit tersaji dalam kehidupan sehari-hari kita terkait betapa sangat menghambatnya suthik ini,   meskipun di sisi lain, mungkin saja karena suthik, ada beberapa hal atau orang  “diselamatkan.” Silahkan menemukan sendiri contoh konkret itu berhubung saking banyaknya.

Apakah suthik ini sama dengan pakewuh? Banyak orang sering menyamaartikan begitu (saja), padahal menurut saya ada perbedaan nuansa dan karakterisitiknya.

Pakewuh, juga disebut pekewed memiliki sekurangnya empat makna, yakni pertama, reribed utawa alangan, yaitu gangguan atau halangan; kedua, apa wae kang njalari rekasa utawa kangelan, yakni segala sesuatu yang memnjadikan orang mengalami kesulitan. Ketiga dan keempat, dampak yang ditimbulkan karena pakewuh ialah orang nandhang reribed, ewuhaya, dan nandhang kangelan; yaitu orang menderita kesulitan tertentu.

Baca juga Baul

Jadi, pakewuh bernuansa: hal-hal yang menyebabkan orang mengalami kesulitan; sedang seperti di atas telah dijelaskan, suthik lebih kepada sikap mental orang untuk memilih tidak melakukan apa-apa daripada ……..titik…..titik……..titik.

Selamat Idul Fitri 1444H, merayakan kemenangan melawan suthik dan pakewuh; pastinya.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang