Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
SATU dinamika terakhir perihal masalah hukumnya orang-orang yang terkait dengan kematian Yoshua seperti Sambo, Putri, Kuwat, dan yang lain, ialah vonis kepada mereka sudah final.
Ungkapan Jawanya uwis pog. Mengapa wis pog? Karena upaya terakhir mereka lewat banding (setelah hakim menjatuhkan vonis) sudah terjawab juga bahwa putusannya tetap, yaitu hukuman mati untuk Sambo.
Entah masalah, entah pula proses disebut uwis pog manakala semuanya itu (a) wis katog, entek, yakni semuanya sudah sampai tuntas, habis; (b) wis sah, artinya sudah absah secara hukum atau pun kesepakatan, sudah berkekuatan hukum.
Pog
Dan sesuatu disebut pog, manakala (c) ajeg wae, ora mundhak ora suda, sudah mentog, tidak bisa tambah tidak bisa kurang, tidak tumbuh lagi semisal tanaman atau tinggi badan seseorang.
Dalam tawar-menawar tentang harga setengah kilogram cabe kriting, contohnya, penjual sudah tidak mau lagi turun dari harga tawar dua puluh ribu rupiah, sementara calon pembeli juga pog pada harga delapan belas ribu rupiah.
Baca juga Baul
Akan tetapi, jika antara dua orang atau dua pihak sedang berembug, lalu salah satunya mengatakan: “Wis, dipog wae ya,” itu maksudnya, dipupus utawa dijujug wae; artinya mari kita sudahi, mari kita simpulkan dan tidak perlu berpanjang kalam lagi.
Dalam tawar-menawar antara blantik dan calon pembeli di pasar hewan, praktik dipog ini sangat dikenal. Penentu utama si blantik, dan berdasarkan kelihaiannya, sangat mungkin dia akan dapat bonus beberapa ribu rupiah dari penjual, tetapi bisa juga dapat bonus dan pembeli.
Pol lan Por.
Lain pog, lain pula pol lan por, meskipun memang “beti” saja, beda-beda tipis atau beda tipis-tipis. Sesuatu disebut dengan ungkapan uwis pol, manakala (i) wis kebak, yakni sudah penuh: Isi bensin sampai pol, maksudnya sampai penuh. Makna (ii) ialah wis lunas, sudah lunas hutangnya misalnya: (iii) uwis katog, artinya sudah sangat puas habis-habisan, misal mabuk-mabukan; dan (iv) uwis tekan kang akeh dhewe, sudah sampai pada bilangan tertinggi, sampai puncaknya, sudah sebanyak-banyaknya.
Contoh vonis hukuman Sambo, yakni dihukum mati, itu menegaskan bahwa kesalahan atas perbuatan dia divonis pol, yakni hukuman mati. Tidak ada vonis lebih berat lagi di atas hukuman mati.
Jika ada orang berkomentar: “Wah …….. kalau si Anu itu sih sugihe pol, pitung turunan; itu maksudnya si Anu itu sangat kaya-raya sampai tujuh turunannya pun masih akan dapat menikmati. Lain lagi maknanya atas komentar begini: “Dumeh lagi kuwasa, si Badu kae ngapal-keruke pol-polan.
Celoteh ini mau mengatakan, betapa sangat mungkinnya mumpung sedang punya kekuasaan dan kekuatan, seseorang berlaku seperti kapal keruk, semua yang dapat dikeruk, diambilnya demi menumpuk harta benda. Pol-polan tenan korupsine.
Bagaimana halnya dengan por? Ada dua makna por, yaitu, satu, wis tutug anggone nguja; sudah sangat-sangat banyak/terpenuhi hasratnya untuk memuaskan diri (dalam hal apa pun, misalnya). Dan makna kedua, kata por sering dipergunakan untuk melukiskan seseuatu yang paling: paling bagus, paling indah, paling cantik.
Baca juga Main Alus
Kalau seorang cewek dikatakan ayune por (bukan pol lho ya) itu maksudnya seolah-olah tidak ada cewek lainnya yang melebihi cantiknya si Bunga, misalnya. Makna kedua ini intinya melebihi yang lain-lain, dan karena itu tidak ada pihak lain, ora ana kang ngluwihi maneh.
Kalau kemudian ada orang berkomentar: “Si Dhadhap kae, jan uripe por-poran tenan.” Orang itu akan mengatakan betapa hidup si Dhadhap itu sarwa ujan-ujanan, penuh dengan pesta pora, mabuk-mabukan, melampiaskan segala hasrat dan nafsunya secara puas sepuas-puasnya.
Dengan ungkapan lain katog-katogan, semuanya dan apa pun yang membuatnya nikmat, sudah dilakukan atau dirasakannya.
Apakah pog, pol, dan por semata-mata bernuansa serba negatif? Pasti tidak. Masih amat banyak orang yang melaksanakan pengabdiannya demi sesama dan kemanusiaan secara betul-betul tuntas, habis-habisan sampai titik darah terakhir.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang