Oleh: Amir Machmud NS
// trauma, semudah itukah ditepis/ akan terbenamkah kita/ dalam suntuk amarah/ dan luka sepak bola?/ maka bangunlah anak-anak muda/ buka jendela dunia…//
(Sajak “Bangkitlah, Anak-anak Muda”, 2023)
BERSYUKURLAH, Indonesia tidak mendapat sanksi berat FIFA. Setelah pembatalan hak menjadi tuan rumah Piala Dunia U20, badan sepak bola dunia itu “hanya” membekukan dana bantuan untuk pengembangan sepak bola negeri ini.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir yang melobi ke FIFA menyebut sanksi itu sebagai “kartu kuning”, dari kekhawatiran “kartu merah” berupa isolasi dari pergaulan sepak bola internasional.
Itukah ending dari kisruh ini?
Membuat lega, memang; namun rasanya kita telah dibuat trauma lantaran terjebak oleh satu nama yang “menghantui”: Israel!
“Sesangar” itukah Negeri Yahudi tersebut, sehingga menciptakan “geger genjik” yang mengoyak harmoni kehidupan bangsa ini?
Tak sadarkah, gara-gara Israel, kita sengit bertarung opini dalam dua kubu: yang menolak, dan yang siap menerima?
Gara-gara Israel, Piala Dunia U20 gagal digelar di sejumlah kota di Indonesia.
Gara-gara menyatakan menolak Israel, Gubernur Bali Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo “diserbu” netizen. Penolakan, yang oleh FIFA dianggap sebagai “intervensi”, dan menjadi konsiderans pencabutan hak tuan rumah.
Gara-gara Israel, iktikad sikap konsisten terhadap amanat konstitusi oleh sebagian orang justru dipertentangkan sebagai pikiran keliru. Gara-gara Medinat Yisra’el pula, perdebatan dalam atmosfer informasi bernuansa buram mewarnai interaksi pendapat bangsa ini.
Faktor yang Mencencang
Nyatanya, Israel menjadi faktor kesejarahan yang mencencang bangsa ini dalam urusan olahraga, dari sejak 1962 di masa-masa Bung Karno membangun reputasi internasional.
Sejarah menegaskan bagaimana Indonesia mengekspresikan politik luar negeri, dengan keberpihakan kepada Palestina, yang tak berkeputusan diagresi oleh Israel.
Sejarah juga mencatat Palestina sebagai negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan RI pada 1945.
Tak sekali-dua kali event internasional olahraga — termasuk di Indonesia –, berurusan dengan Israel, yang lekat dengan cap sebagai agresor.
Dan, lagi-lagi Israel “mengusik” semangat pembangunan sepak bola kita, saat dipercaya oleh FIFA sebagai tuan rumah Piala Dunia U20. Kehadiran Israel, sebagai salah satu wakil Zona Eropa, membelah Indonesia ke dalam dua kubu.
Dinamika kubu yang berpikir murni sepak bola menghendaki seperti yang FIFA maui, yakni tidak ada intervensi politik. Artinya, Piala Dunia tetap jalan, dan Israel — sesuai tiket kepesertaannya — diterima untuk bertanding. Risiko-risiko politik dengan segala respons dan latar belakangnya menjadi urusan nomor sekian.
Kubu sebelah lain pula. Dengan back ground konsisten terhadap amanat konstitusi, Israel harus ditolak. Risikonya, tidak akan ada titik temu dengan FIFA, walaupun otoritas tertinggi sepak bola dunia itu menerapkan standar ganda terhadap Rusia, yang juga terbukti sebagai negara agresor.
Dengan latar belakang dua arus besar itu, menurut Menkopolhukam Mahfud MD, keputusan FIFA yang membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah merupakan jalan tengah dari dilema yang dihadapi oleh pemerintah. Yakni antara mempertahankan warisan prinsip anti-imperialisme Sukarno, dan tuntutan ikut serta dalam pergaulan internasional demi kemajuan olahraga.
“Keputusan sudah ditetapkan. Sekarang mari kita berjalan sesuai keputusan FIFA. Dan, kita tetap membuka pintu bermain di FIFA,” ungkapnya.
Sikap Coach STY
Pasca-fase menyedihkan ini, dan “kartu kuning” FIFA, PSSI harus berkonsolidasi total untuk memulihkan luka sepak bola kita.
Sikap pelatih Shin Tae-yong patut didukung oleh semua elemen sepak bola nasional. Dia meminta para pemain tidak terus larut dalam kesedihan.
Mereka harus mulai melupakan Piala Dunia U20 2023. “Kalian masih punya masa depan yang panjang. Bermimpilah lebih tinggi ke depan,” pesannya, dalam Youtube PSSI.
Menurut pelatih asal Korea Selatan itu, jika mental lebih kuat dan kemauan lebih tinggi, masih ada Olimpiade 2024 di Paris, dan Piala Dunia 2026. STY menilai, dengan kemampuan yang dimiliki, mereka bisa. “Untuk meraih sukses, kalian harus bisa melewati batas kemampuan,” ujarnya.
Belajar dari sejarah yang bergulir, saat-saat ini sepak bola kita membutuhkan kemauan berkonsolidasi secara total.
Arahnya, merevitalisasi kompetisi liga dan merefleksi Tragedi Kanjuruhan 2022 ke arah transformasi sikap profesional dan konsisten dalam penegakan hukum, membangun jaringan diplomasi yang solid ke FIFA, dan kerja sama dengan kalangan sepak bola internasional.
Tak kalah penting, bagaimana memobilisasi semua potensi, dari stakeholders dan pecinta sepak bola, klub-klub, organisasi cabang olahraga ini, sponsor, hingga pemerintah; dalam satu kesatuan pikir dan langkah sebagai “masyarakat sepak bola Indonesia”…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —