blank
Antonio Conte. Foto: gi

Oleh: Amir Machmud NS

blankMEREKA paham berdiri di tubir jurang. Mereka sadar berdiri di batas keselamatan dan keterpurukan. Mereka berdiri di panggung kejayaan atau keterbenaman. Hasil dan proses berada di aras yang berbeda…

Bahkan nama besar pun bukan jaminan kesuksesan.

Bahkan jam terbang pun bukan garansi pemaksimalan pengalaman.

Nasibkah yang rupanya lebih berkuasa memilih “permainan”: kau akan meraih kebahagiaan, atau kau terjebak di “ladang pembantaian”?

Bagi para pelatih, kompetisi liga — di negara mana pun – serasa bagai “killing field” yang menderetkan antrean: siapa lagi yang berada di daftar giliran?

Dari fakta teranyar musim 2022-2023 ini, sembilan pelatih sudah menjadi “pesakitan” yang tervonis gagal di pentas Liga Primer, sejauh ini.

Manajemen sembilan klub memastikan: para arsitek itu sudah tak bisa diharapkan memperbaiki keadaan. Dengan kata lain, klub butuh penyegaran untuk bangkit dari gejala-gejala kebuntuan.

Pemecatan pun menjadi konsekuensi pilihan, yang para pelatih paham benar tentang keniscayaan itu. Seorang taktikus ibarat meniti buih, bagai menapak di titian serambut dibelah tujuh…

Risiko itu tak memilih-milih nama. Pelatih sekaliber Juergen Klopp berada di kemungkinan serupa, sama dengan yang pernah dialami Louis van Gaal, Jose Mourinho, juga Thomas Tuchel.

Sembilan nama ini tak luput dari realitas “liga killing field”: antara tuntutan dan hasil, antara harapan dan keterbantingan. Sebutlah mulai dari Scott Parker (Bournemouth), Thomas Tuchel (Chelsea), Bruno Lage (Wolverhampton), Stevan Gerard (Aston Villa), Ralph Hasenhuttl (Southampton), Frank Lampard (Everton), Jesse Marsch (Leeds United), Nathan Jones (Southampton), dan Patrick Vieira (Crystal Palace).

Pun, bukan tidak mungkin kini sedang menunggu palu sikap manajemen: Juergen Klopp (Liverpool), Antonio Conte (Tottenham Hotspur), dan Graham Potter (Chelsea). Conte bahkan “mempercepat proses” penglepasan setelah situasi emosional yang kurang terkontrol setelah bermain imbang 3-3 melawan Southampton, 18 Maret lalu. Manajer asal Italia itu marah-marah kepada pemain dan menyinggung soal mentalitas klub.

“Chemistry”
Reputasi dan pengalaman seorang pelatih memang “berbicara”, namun ada faktor lain yang tak kalah penting: chemistry.

Dulu, siapa yang mengira Sir Alex Ferguson mampu mengangkat Manchester United ke level setinggi itu, dalam rentang sepanjang itu? Butuh waktu lama dari 1986 untuk menuai hasil mulai 1990, dan setelah itu tirai pencapaian pun terbuka.

Arsene Wenger juga punya “titik pertemuan hati” dengan Arsenal, berikutnya Mourinho dengan Chelsea, Pep Guardiola dengan Manchester City, dan Juergen Klopp dengan Liverpool.

“Rekatan kimiawi” bukan sesuatu yang mudah dikuantifikasi dengan pendekatan semata-mata keterukuran teknis, melainkan juga rekatan hati dan rasa, atau kondisi kehabitatan tentang “cocok” atau “tidak cocok”.

Maka kini kita menunggu proses dan hasil akhir: apakah Mikael Arteta memang figur yang tepat menggantikan Wenger? Apakah pula Eric ten Hag menjadi sosok yang tertakdirkan menghuni istana Fergie?

Bahwa pelatih sadar berada di batas tipis kesuksesan dan keterpurukan, itu adalah konsekuensi “hukum manajerial”. Mereka orang-orang tersaring yang paham tentang pilihan jalan dengan segala “hantu” risikonya.

Apakah profesionalisme tak mengenal hati dan rasa? Klopp, misalnya. Pelatih asal Jerman itu mampu mengangkat Liverpool ke level kejayaan pada 2019 setelah tiga dekade terempas dari percaturan elite, namun apakah sosok yang nyata-nyata telah membawa perubahan itu tergaransi dari keniscayaan pemecatan karena keterpurukan Jordan Henderson dkk pada musim ini?

Hati dan rasa, di alam profesional, boleh jadi dimaknai hanya dari parameter capaian. Acapkali, proses yang membentuk karakter — seperti tiki-taka atau gegenpressing — terabaikan ketika belum memberi trofi sebagai bukti.

Terkadang sesimpel itu kita mengartikulasikan profesionalisme. Berdiri dengan satu kaki di wilayah puja-puji, satu kaki lainnya di teritori pemecatan dan caci-maki; setiap saat bisa tercebur di ladang pembantaian yang seolah-olah tak kenal perasaan…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah