Oleh: Amir Machmud NS
//temukanlah kehidupan/ dalam relung sepak bola/ akan kau tatap kenyataan/ di sebundar rapi bola/ akan kau rasakan pusaran/ dalam cakra yang fana//
(Sajak “Cakra Kehidupan Sepak Bola”, 2023)
TAK ada yang pasti dalam kehidupan, maka perjuangkanlah, dan janganlah menyerah untuk hidupmu…
Manchester United adalah “ayat kauniah” tentang kehidupan. Pada hulu dasawarsa 1990-an, bersama Alex Ferguson mereka berjuang dan akhirnya berhasil bangkit dari tidur panjang pasca-merajai Piala Champions 1968 lewat legenda-legenda George Best, John Aston, Bobby Charlton, Brian Kid, dan Denis Law.
Pada era 1990-an hingga dekade milenial 2000-an, Setan Merah bagai tak terbendung mendominasi semesta sepak bola lewat Class of 1992 Paul Scholes dkk yang diracik oleh Sir Alex secara futuristik.
Dan, layaknya kehidupan, ada titik ketika siklus menurun tak terhindarkan. Sir Alex pensiun pada 2013, dan hingga kini tak satu pun penerusnya — David Moyes, Ryan Giggs, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solskjaer, Michael Carrick, dan Ralf Rangnick yang berhasil merekatkan jarak masa jaya dan masa muram.
Hingga muncullah Eric ten Hag, figur harapan dalam bayangan. Yakni antara diyakini membawa perubahan, atau diperkirakan mengalami kebuntuan kreativitas seperti para pendahulunya.
Tapi tunggu dulu, pelatih asal Belanda itu rupanya memberi gambaran kuat tentang kebangkitan yang dirindukan. Dan, dia telah memberi bukti satu trofi Piala Liga, bukan?
Tapi tunggu dulu pula, dia menorehkan catatan paling muram dalam sejarah pertemuan dengan rival abadi, Liverpool. Kekalahan 0-7 di Stadion Anfield, bukankah itu menodai rekor apik Ten Hag dalam fenomena up-trend Marcus Rashford dkk?
Sampai Ten Hag pun tak kuasa membendung ekspresi kekecewaan. Dia menyebut, “Itu bukan level MU”, dan menghardik para pemain sebagai “tidak profesional”.
Psikologi Kekalahan
Pastilah tak mudah keluar dari cekaman psikologi kekalahan memalukan itu. Skor dan cara kalah itu terlalu meremukkan rasa, kendati beberapa hari kemudian anak-anak Old Trafford segera menunjukkan sikap positif lewat kemenangan meyakinkan 4-1 atas Real Betis di Liga Europa.
Saya pun, yang pekan lalu dalam kolom ini menulis tentang Setan Merah mulai kembali “memerah”, mendapat sindiran dari banyak kolega.
“Seperti itukah MU-mu?”
“The Reds Liverpool terbukti lebih ‘merah’ kan?”
“MU belum benar-benar bangkit, mas. Masih harus membuktikan konsistensi”.
Ya, rupa-rupa komentar mereaksi tulisan optimistis saya.
Nah, bukankah naik – turun performa dan lika-liku perjuangan sebuah klub sepak bola untuk meraih kembali “maqam”-nya identik dengan perjuangan hidup manusia dalam kehidupannya?
Lantaran tak ada yang pasti dalam perjalanan kehidupan, maka kata kuncinya adalah konsistensi.
Secara alamiah, siklus hidup sebagai naik-turun “roda kehidupan”, atau fenomena “cakra manggilingan” adalah realitas yang setiap saat bisa dihadapi oleh manusia.
MU sebagai institusi yang dikelola oleh pikiran, ide dan pilihan tindakan manusia tentulah pula berada dalam lingkup “pola” yang sama.
Lalu, bagaimana kemudian harus mengelola untuk menahan agar “cakra” tak terus menerus berada di bagian bawah pusaran?
Bagaimana pula manajemen konsistensi akan menghadapi badai kreativitas dari manusia-manusia pesaing; yang dalam konteks MU “ancaman” itu bisa hadir dari Liverpool dengan Juergen Klopp, Manchester City bersama Pep Guardiola, atau Arsenal dengan Mikael Arteta-nya?
Tesis – Antitesis
Bagi MU, semesta adalah ekosistem di seputar mereka. Katakanlah selalu ada antitesis dari sebuah tesis. Lalu ada sintesis dari antitesis. Konstruksi Eric ten Hag pun, cepat atau lambat akan dihadapi dengan dekonstruksi yang digalang pelatih dari klub mana pun.
Sedemikian “rimba”-kah kehidupan sepak bola untuk menegaskan ikhtiar survivalitas manusia dan klub-klub?
Pergerakan waktu bagai tak berjeda untuk terus menerus berkreasi dan mengantisipasi. Tak ada taktik yang abadi. Skema-skema gegenpressing, tiki-taka, sepak bola posesif, atau attacking football adalah gambaran “fana” aksi-reaksi dalam perjalanan kehidupan.
Namun, kekalahan sebesar itu untuk MU yang sedang on fire dan up trend tentu merentangkan usikan tanda tanya, “Sekejam itukah cakra manggilingan yang memutar drastis perjalanan anak-anak Manchester Merah ke pusaran bawah?”
Dan, bagaimana pula dengan kemenangan 4-1 atas Real Betis? Hanya sebagai bentuk “kewajaran”, “kepatutan”, “keharusan”, atau apa?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —