Oleh : Hadi Priyanto
Semestinya spirit kebangsaan harus selalu diperkuat saat memasuki perhelatan demokrasi. Hingga pesta dapat berlangsung dengan riang gembira, sebab rakyat bersama-sama menjalankan hak konstitusional untuk menentukan masa depan bersama. Karena itu menghadirkan kegembiraan dalam berdemokrasi adalah tugas kebangsaan.
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa dan 17.508 pulau. Dari jumlah ini ada sekitar 6.000 pulau yang dihuni oleh sekitar 272,23 juta jiwa
Dengan demikian Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan sekaligus memiliki keberagaman budaya, sosial, ekonomi dan politik yang tersebar hingga pelosok wilayah.
Harapan bahwa demokrasi akan memunculkan kegembiraan dan akan masa depan yang lebih baik memang masih harus melalui jalan terjal. Sebab praktik-praktik buruk yang dihasilkan dari 12 kali Pemilu masih terus berlangsung hingga saat ini.
Masih saja ada praktik-praktik kolusi, korupsi, nepotisme, ketidakadilan dan kesejanjangan. Juga mahalnya harga kebutuhan pokok, lapangan pekerjaan yang sulit, dan pendidikan yang mahal.
Rakyat juga masih menonton dengan mata telanjang sepak terjang sebagian politikus dan pejabat yang tidak sungguh-sungguh dan ikhlas memperjuangkan nasib mereka. Namun lebih memperjuangkan kepentingan diri, keluarga, dan kelompok mereka.
Praktek-praktek demokrasi yang dikemas dalam sikap-sikap provokatif, politik identitas, kampanye hitam, politik adu domba justru memunculkan polarisasi politik, konflik, perpecahan dan rasa cemas juga masih kita saksikan saat ini.
Akibatnya masyarakat terbelah dalam kutub-kutub yang berseberangan hanya karena isu dan perbedaan pilihan politik hingga tidak dapat memasuki suasana perhelatan demokrasi dalam kegembiraan.
Kegembiraan Ibarat Pesta
Dengan kegembiraan itu akan tumbuh optimisme masa depan bersama yang lebih baik. Sebab rakyat memiliki harapan, pesta demokrasi itu akan melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang menjamin ketersediaan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan yang terjangkau. Juga jalan-jalan yang baik, pupuk, keadilan, rasa aman dan tersedianya lapangan pekerjaan.
Kita tentu maklum, dalam Pemilu selalu menghadirkan konsekwensi perbedaan pilihan. Artinya, perbedaan pilihan tak bisa dihindarkan dalam kontestasi politik. Sebab senyatanya pilihan yang berbeda adalah substansi demokrasi.
Perbedaan pilihan politik ibarat selera makan dari orang-orang yang hadir dalam sebuah pesta yang menyajikan makan prasmanan. Mereka memilih makanan tanpa mempertanyakan mengapa orang lain memilih jenis yang berbeda, apalagi menghalangi orang lain menikmati makanan kesukaannya. Juga tidak saling mempengaruhi orang lain untuk memilih menu yang sama.
Demikian juga para pelayan pesta. Mereka melayani tamu dengan ramah dan memperlakukannya dengan adil dan setara. Sikap mereka sama, mulai dari juru parkir, penerima tamu, pengisi hiburan, hingga penyaji makanan. Tidak membedakan tamu yang hadir. Juga tuan rumah yang selalu tersenyum saat menerima jabat tangan undangan yang hadir.
Seperti itulah seharusnya pemilu kita rayakan agar dapat menjadi sebuah kegembiraan politik di tengah adanya perbedaan pilihan. Karena itu diperlukan keberanian untuk menanggalkan ego kesukuan, ego agama, ego ras, ego etnik, dan ego golongan untuk menyatukan rakyat yang beragam agar dapat bersama-sama mencari pemimpin dan wakil rakyat yang dapat menjalankan tugas pokoknya, melayani rakyat, dan menjaga konstitusi negara.
Jika seluruh pemangku kepentingan mulai KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, partai politik, dan pemerintah di semua tingkatan, media, ormas keagamaan, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan pemangku kepentingan lain melakukan perannya dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan, maka pemilu yang menggembirakan pasti akan disambut oleh rakyat dengan suka cita. Semoga kita dapat menyongsong Pemilu 2024 sebagai sebuah pesta demokrasi yang menggembirakan.
Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID dan pegiat budaya di Jepara