blank
Ilustrasi/Visi.News

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Sementara saya sedang menyiapkan tulisan ini, terbaca berita Bapak Presiden mengapresiasi Kapolri karena jajaran Polri telah bertindak cepat, sigap, dan tepat memberikan bantuan kepada  seorang ibu di Sulawesi yang  memberikan susu kopi kepada anak balitanya.

Pihak Polri mendatangi ibu (keluarga) tersebut, disamping memberikan susu dan materi lainnya, tentu saja dapat dipastikan aparat polisi itu  memberikan penyuluhan tentang tidak tepatnya memberikan kopi kepada balita.

Bagaimana sih kejadiannya? Singkat cerita, seorang ibu bermaksud memberikan susu sachetan kepada balitanya; namun yang ada hanyalah sachet susu kopi. Rupanya dalam keadaan tidak ada pilihan lain dan pasti anaknya sudah menangis sejak tadi, diseduhlah satu sachet susu kopi itu dan diberikan kepada anaknya.

Entah bagaimana, virallah “kejadian” ini, bapak Presiden pun sempat mirsani. Kapolri karena tergerak hatinya untuk segera bertindak, segera memerintahkan anak buahnya, dan ……..seterusnya; terjadilah seperti yang diceriterakan di alinea atas.

Alah Ora

Kisah di atas adalah contoh tindakan cepat, sigap, dan tepat yang sangat dibutuhkan di zaman dan era serba cepat digitalistik sekarang ini. Karena itu, rumusnya hanya satu, yakni: Mari tinggalkan dan tanggalkan bekerja alah ora.

Kata alah, atau juga ala sebenarnya bermakna kalah; namun Ketika digabung dengan kata tertentu, artinya menjadi berbeda. Misalkan, orang tua kita mengatakan “alah (ala) dene kowe sekolah dhuwur, jebul ora becus nyambut gawe.”

Itu maksudnya ortu mengingatkan Anda itu sudah sekolah (tinggi lagi), maka alangkah sia-sianya jika tidak terampil bekerja. Alah dene dalam kalimat ini bermakna tanpa gawe, ora ana gunane kamangka wis tumandang; tidak menghasilkan apa-apa padahal  kelihatannya sudah mengerjakan sesuatu.

Beda lagi dengan alah ora sebagaimana judul ini menegaskannya: Mari kita tinggalkan dan tanggalkan. Kalau ala(h) dene tidak menghasilkan apa-apa dan/atau tidak berguna; alah ora berarti gelem ora-ora enggone tumandang, yaitu ogah-ogahan dalam mengerjakan apa pun. Etos kerjanya amat sangat jelek/buruk; oleh karena itu harus kita tinggalkan dan tanggalkan di era serba harus cepat sekarang ini.

Baca Juga: Ora Mekakat

Orang beretos kerja bagus/baik itu antara lain ngerti dhewe ora perlu diperintah, tahu dengan sendiri apa yang harus dikerjakan tanpa perlu diperintah. Sebaliknya, ala(h) ora menggambarkan kerja sarwa leda-lede, tidak ada semangat, tidak ada inisiatif, tidak ada greget; dan kalau pun tampaknya bekerja, pasti ia asal-asalan saja, sekedar kelihatan mengerjakan sesuatu.

Harus ditinggalkan

Mengapa ala(h) ora harus ditinggalkan dan ditanggalkan? Jawabannya sudah tegas jelas, yakni di samping tuntutan zaman yang serba cepat, bekerja sigap, cepat, dan tepat adalah ciri orang yang mau maju. Apa artinya bekerja jika secara mental dan Nurani tidak terdorong untuk maju dan maju, untuk berprestasi dan berarti. Siapa pun dewasa ini tidak mungkin hanya mau berleha-leha, ora kerja apik nanging jaluk bayare naik, naik, dan naik.

Baca Juga: Jika Ora Trima, Ya Trima Ora Wae

Etos kerja perlu ditingkatkan oleh siapa pun dan di tataran mana pun; gelem ora-ora harus diubah menjadi cepat, sigap, dan tepat dan hal itu pasti terjadi manakala siapa pun yang disebut sedang menduduki jabatan di tataran mana pun juga bersikap cepat, sigap, dan tepat (CST).  Motto kerja harus diubah menjadi “Siapa tidak bekerja CST, dia tidak usah makan.”

Dukungan apa saja  sehingga siapa pun sekarang ini harus bekerja CST? Media harus kita akui peran strategisnya sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh media  dapat berjalan dengan sangat efektif.

Sebuah video sederhana pun, dan video semacam itu dapat diproduksi oleh “siapa pun” saat ini, sudah dapat menjadi sumber informasi dan sertamerta alat kontrol sosial, dan dalam hitungan jam saja mungkin sudah bisa tersebar meluas sampai mana pun. Memang, siapa pun perlu berhati-hati juga dalam bermedia saat ini sehingga terhindar dari “menjadi korban.” Mari aja ala(h) ora, tinggalkan dan tanggalkan itu, ganti dgn CST.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)