blank
Seorang pengujin sedang melakukan wawancara dengan peserta Uji Kompetensi Wartawan di Ambon, Maluku. Foto: wied

blank

Oleh: Amir Machmud NS

UKURAN dasar profesionalitas wartawan adalah pemahaman kompetensi yang “kaffah”, yakni kecakapan teknis dan kearifan etis.

Cakap teknis tanpa penghayatan etis belumlah kompeten. Dua

sisi itu menjadi keping mata uang yang tak bisa saling terpisahkan.

Parameter kompetensi itu antara lain dilihat lewat proses pengujian, berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 12 Tahun 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan (SKW). SKW dilaksanakan melalui ujian kompetensi oleh lembaga-lembaga uji yang tersertifikasi oleh Dewan Pers.

Dari positioning itu, UKW merupakan instrumen sahih untuk mengukur kelayakan seseorang sebagai wartawan. Penegasannya, UKW memang “bukan syarat menjadi wartawan”, melainkan parameter kepatutan (kompetensi).

Pemahaman ini perlu ditekankan, agar tidak terus menerus muncul kesalahpahaman dalam aneka tafsir untuk menjawab penting atau tidak penting menilai kelayakan kinerja kewartawanan seseorang melalui instrumen UKW.

Apalagi, sebagai profesi, wartawan tentu membutuhkan persyaratan profesionalitas, seperti halnya profesi-profesi yang lain. Aspek teknis (skill) harus oke, sementara aspek etis juga harus oye. Oke-oye ini menyatu secara “kaffah”, tak bisa setengah-setengah.

Justifikasi

Tak sedikit yang berpikir justifikatif: apakah wartawan yang sudah memegang sertifikat kompetensi bisa dijamin berkecakapan pada dua aspek itu?

Apakah dia pasti profesional dalam ukuran skill? Pun, apakah dijamin bakal tegak lurus secara etis?

Tak sedikit pembicaraan di tengah kita yang seperti menyimpulkan, pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik yang terjadi, sejauh ini juga dilakukan oleh mereka yang telah dinyatakan kompeten oleh lembaga uji.

Dalam catatan Hendry Ch Bangun, mantan Wakil Ketua Dewan Pers, selama 2022 masuk 691 pengaduan, 97 persen yang diadukan adalah berita-berita dari platform siber. Pengaduan terkait etika jurnalistik itu meliputi judul yang mendekati porno, tidak berimbang, tidak akurat, berita partisan, opini yang menghakimi, dan penyebutan identitas anak. (“Setelah Kompeten, Apa?”, Antara Kaltara, 22 Januari 2023).

Realitas itu tentu merupakan bagian dari skeptisitas yang sebenarnya mudah dijawab, bahwa profesi apa pun punya potensi “penodaan” oleh para anggotanya. Inilah dinamika, seperti halnya skeptisitas tentang penandatanganan pakta integritas dan pengambilan sumpah yang sering menjadi “ritus” mengawali tugas dalam banyak bidang.

Artinya, wartawan yang diikat oleh kode etik kewartawanan secara alamiah juga menghadapi aneka dinamika dalam menjalankan tugas – profesinya.

Masalahnya, apakah dia mampu menghadapi dinamika itu dengan transformasi mindset sebagai wartawan yang sudah dinyatakan kompeten? Apakah dia mampu menegaskan pilihan berkomitmen pada ikatan-ikatan moral profetiknya?

UKW, menurut Hendry, dapat menjadi alat penyaring, sejauh penyaring dan penyaringannya baik dan benar. Artinya, Dewan Pers sebagai pemberi mandat UKW ke lembaga uji, harus melakukan evauasi berkala agar produk lembaga uji itu kredibel. Kalau kurang, diperbaiki. Kalau salah, ingatrkan aturan dan kewajiban untuk menaati.

Konteks Kelayakan

Bisa dipahami, apabila tidak sedikit mitra kerja yang punya keinginan untuk (sekadar) tahu, apakah yang berelasi dengan dia dan atau institusinya adalah wartawan yang memang punya keterukuran kompetensi?

Fenomena istilah dalam dinamika dunia kewartawanan seperti “wartawan abal-abal”, “bodreks”, atau “wartawan tidak jelas”, tentu berpotensi membangun mindset buruk, dan bisa menyulut keraguan sebagian narasumber kita.

Dan, pertanyaan itu bisa dijawab dengan cara elegan, misalnya wartawan proaktif menunjukkan identitas yang terkait dengan kompetensinya.

Proses pengujian dalam UKW berupa pembuktian unjuk kerja di meja uji, menurut saya cukup sahih untuk “merekonstruksi” sejauh mana elemen-elemen kompetensi itu telah mengalir dalam nadi wartawan.

Gambaran ringkas semacam ini kiranya cukup menjelaskan pentingnya posisi UKW, terutama dalam membangun kemampuan “kaffah” kewartawanan.

Ada konteks kebutuhan unjuk parameter kelayakan profesi. Ada konteks kepatutan mengukur kinerja bagi anggota organisasi profesi. Ada konteks pembeda untuk menunjukkan, mana wartawan yang dinilai kompeten dan mana yang berada di luar koridor itu.

Pendalaman pemahaman ini penting untuk membekali mereka yang memilih profesi sebagai wartawan. Selain itu, dinamika kehidupan profesi kewartawanan seperti ini, kiranya pantas pula diperkenalkan sebagai bagian dalam pembelajaran di Jurusan Jurnalistik Program Studi Ilmu Komunikasi, khususnya dalam Mata Kuliah Dasar-dasar Jurnalistik.

Terdapat substansi nilai yang secara mendasar perlu ditunjukkan dan diajarkan kepada mahasiswa sebagai bagian dari “calon yang bakal mengisi profesi ini”, juga sebagai pengembangan ilmu dan praktik jurnalistik, bahwa profesi wartawan punya ukuran profesionalitas yang ketat sampai seseorang betul-betul layak disebut sebagai wartawan.

— Amir Machmud NS, pengajar jurnalistik Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah