Oleh: Amir Machmud NS
// kembalilah, anak impian/ dan kau kembali/ bersinarlah, cahaya langit/ dan kau berpijar/ cukupkah hanya pijar?/ Teater Impian menantimu selalu menciptakan ingar-bingar//
(Sajak “Marcus Rashford”, 2023)
INIKAH Marcus Rashford yang kita kenal?
Ah, Rashford mana yang Anda kenal?
Rashford yang “bertenaga” dan penuh determinasi?
Rashford yang cerdik, technicy, dan tajam mengeksekusi?
Atau Rashford yang lembek, inferior, dan kehilangan konfidensi?
Ya. Naik – turun performa seperti itu seolah-olah menjadi bagian dari perjalanan profesional Marcus Rashford, pemain yang dipromosikan Louis van Gaal ke tim utama Manchester United pada 2017.
Dia berkembang cepat. Di MU menjadi pilihan utama. Di tim nasional Inggris juga dipercaya oleh coach Gareth Southgate. Ole Gunnar Solskjaer pun pernah memujinya “berada di level Cristiano Ronaldo”.
Dalam kolom BOLA-BOLA, 29 Januari 2022, lewat titel “Memulihkan Marcus Rashford”, saya berkesimpulan, Rashford terkadang tampil bagus, kadang tampak medioker. Ketika diarsiteki oleh Ralf Rangnick, tampaknya dia menjadi bagian dari refleksi masalah MU yang belum juga menemukan identitas permainan setelah Alex Ferguson pensiun pada 2013.
Kini si anak ajaib itu dia tengah dalam moda up trend yang menakjubkan. Golnya ke gawang Manchester City pada 14 Januari lalu di Old Trafford, melengkapi produktivitas yang (sejauh ini) konsisten. Dalam sembilan laga, dia selalu mencetak gol.
Impresivitas itu hadir pada momen yang tepat ketika MU ditangani pelatih baru Erik ten Hag, ketika MU membutuhkan “angin” kebangkitan, dan ketika sudah saatnya Rashford menunjukkan puncak potensi dalam usia kematangan.
Dalam analisis pada 29 Januari 2022 itu saya ketengahkan pertanyaan, Marcus Rashford telah kembali. Namun, sudah betul-betul kembalikah Rashford? Akankah dia selalu menarasikan eksistensi dalam “pernyataan dan pertanyaan” seperti itu?
Diksi “pernyataan” dan “pertanyaan” itu sejatinya adalah gambaran keraguan. Apakah karena persoalan bandul bioritme, cap mediokritas, atau mungkin semacam realitas kelabilan konfidensi?
Wonderkid
MU, dalam sejarahnya, selalu melahirkan wonderkid dan “raja”. Dalam daftar anak ajaib, sederet pemain akademi pernah diorbitkan oleh Alex Ferguson lewat Class of 1992. Setelah itu, dari Akademi MU belum ada “pemain bocah” yang semenjanjikan Rashford.
Dalam kategori “raja”, Setan Merah pernah punya Denis Law, George Best, Bryan Robson, Eric Cantona, Ryan Giggs, Roy Keane, Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, dan hingga kini belum muncul lagi “penguasa” baru.
Akankah Bruno Fernandes yang berkembang ke sana? Atau Anthony? Atau Marcus Rashford?
Mula-mula, yang memberi kepercayaan kepada Rashford adalah Louis van Gaal, untuk bermain bersama tim utama. Si bocah 17 tahun menjawab dengan penuh pesona. MU pun bergegas menyambut: bintang penyerang telah lahir.
Dalam debut melawan Midtjylland di Liga Europa pada 25 Februari 2016, dia mencetak dua gol, dalam status sebagai pemain “susulan” lantaran cederanya Anthony Martial. Performanya menggegerkan, dan dia terpilih sebagai man of the match, memecahkan rekor sebagai pencetak gol termuda MU di kompetisi Eropa, melewati George Best, sang legenda.
Rashford melanjutkan keajaibannya tiga hari kemudian. Dalam laga melawan Arsenal, lagi-lagi dia terpilih sebagai pemain terbaik berkat gol perdananya di Liga Primer. Namun setelah era Jose Mourinho, Solskjaer, dan Ralf Rangnick, Rashford cenderung labil, walaupun dia tetap menjadi langganan timnas Tiga Singa.
Kolaborasi dengan Ten Hag
Rashford muncul sebagai “kebutuhan” yang tepat bagi reformasi kultural Erik ten Hag di MU. Inilah bukti kolaborasi yang menemukan chemistry. Kalau selama ini dia dikenal sebagai pemain dengan performa “sensitif” terhadap kondisi klub, artinya, pelatih asal Belanda itu punya formula pendekatan yang mampu menyulut “bara kebangkitan” bagi Rashford.
Yang menarik, Rashford era kekinian memperlihatkan kelengkapan kematangan. Visi penempatan posisi, perfeksionitas dribel, dan teknik eksekusi gol yang mantap. Dia juga bisa membuang kesan ketidakpercayaan diri seperti yang terkadang terlihat dalam penampilannya. Determinasi merupakan gambaran kuat bahwa Rashford sedang menemukan “kegembiraan bermain” yang membuat dia nyaman dan bisa mengeksplorasi semua potensinya.
Teknik men-screen bola, gerakan memutar ala “Cruyff Turn” sesekali juga dia lakukan dalam “Rashford show” yang memikat.
Kepercayaan diri yang muncul dalam performa si anak ajaib ini, menandai jawaban yang dibutuhkan MU dan Ten Hag untuk menyelesaikan musim 2022-2023 ini dengan hasil lebih menjanjikan ketimbang musim-musim sebelumnya.
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru,id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —